Kamis, 18 Juni 2015

Tanpa Judul

4 October 2011, 3:58pm 

Di kepalaku ada setan !!! yang dengan tiba-tiba menggerakkan tangan membuatku meraih cat warna hitam lalu ke atas kanvas kutorehkan tapi mendadak terpaku terdiam kemudian muncul bayang-bayang seorang wanita alim yang suka mengumbar kelamin. Mengapa tidak menyalahkan orang yang sedang berkhianat dan berbuat laknat? Padahal sebelum piring keramik itu menghantam jidat, apa yang dia lakukan adalah tindakan bejat. karena, bagaimanapun dia mampu membuka ruang yang selama ini tertutup rapat, dan menghuninya sesaat, lalu dengan mudahnya dia minggat!
Malam bosan dengan warna hitam. Luruh seperti hati yang runtuh, berputar dalam lingkaran penyesalan yang jenuh. Yang sudah mati dengan segera bisa lahir kembali, untuk mati lagi. Seharusnya ada musik sendu mendayu sebagai latar adegan semacam itu. Seharusnya ada isak tertahan yang akan berubah menjadi desah kebahagiaan saat datang pangeran yang ditunggu.
Ada cerita panjang tentang seseorang manusia yang kalah oleh usia, kala jutaan jarum hujan menelisik kain petang. Semenjak seorang laki-laki menyandang gelar anumerta dalam urusan ranjang, dia selalu gugur dalam berperang. Namun dia masih percaya diri karena tahu persis dirinya berperisai duri. Tato bergambar peri yang membawa hatinya pergi.
Aku tidak pernah tertarik pada kulkas. Dingin. Aku mencintai kehangatan. Menanti benar tibanya mentari di ujung samudra, dan sinarnya membentuk garis emas yang terbujur memanjang hingga pucuk pantai. Pantai adalah perhentianku sebelum kilometer 666. Di sana ada kebebasan yang sempurna. Kadang sunyi seperti Hari Raya Nyepi. Kadang ramai seperti adegan ranjang yang melibatkan borgol, topeng kulit dan cemeti. “Pandanglah aku wahai mata yang bernafsu, peluklah aku hingga setitik api dari dalam tubuhku membakarmu.” Ada bulan di sebelah kanan dan matahari di sebelah kiri matanya. Ada pelangi berbagai macam warna di hidungnya. Namun yang paling membuat aku takjub adalah kupu-kupu yang selalu mengepakan sayap di bibirnya ketika dia bicara. Dari setiap kepak sayapnya, dia berubah warna. Sungguh ajaib, kupu-kupu di bibirnya tidak hanya berubah warna saja tapi juga bisa mendadak berubah wujud tergantung banyak bir yang kuteguk. Aku melihat kupu-kupu seolah moncong meriam, mulai menembakkan rentetan bom yang bakal memecahkan selangkangan. Sayap kupu-kupu mengepak di bibirnya, bulan di mata kiri dan matahari di mata kanannya sama-sama terbenam ketika matanya perlahan tertutup, saat warna-warni pelangi di hidungnya semakin mendekat di atas bibirku yang kelu namun tak terkatup. Kami saling memagut. Di tangan ini gitar tidak hanya berbunyi dan bernada, tapi juga bicara. Dan ketika jemariku memetik kedua puting payudaranya sambil bersenandung, dia melambung. Bibir bergidik, dingin membiru dikerumuni anak-anak salju, sesaat setelah aku memetik gitar dan menyanyikan sebuah lagu. Dibalasnya kecupan itu seperti sedang menyeruput secangkir cokelat dan susu hangat. Terus bersama, terus berpelukan di dalam selimut menikmati sinar matahari yang menyeruak masuk dari sela-sela jendela dan jatuh di atas bibirnya. Untuk mengulang segala gerakan yang akan membuat bibir itu mengeluarkan desahan dan bergetar. Untuk sama-sama melenguh dan menggelepar. Tapi tidak bisa. Uangku hanya cukup untuk bersamanya 3 jam saja.
Dunia yang kukenal adalah Ibu tinggal di rumah ketika Bapak pergi bekerja. Dunia yang kukenal adalah doa sebelum makan dan menjelang tidur. Dunia yang kukenal adalah belajar di sekolah dan mengerjakan PR di rumah. Dunia yang kukenal adalah nasihat, “Raihlah cita-cita setinggi-tingginya. Carilah pasangan yang baik budi pekertinya. Hindari seks sebelum menikah, rokok, minuman keras dan narkoba.” Dunia yang semakin jauh dan menjauh sejak aku memandang kepak sayap kupu-kupu di bibirnya.
Hidup, Barang kali memang seperti segelas bir dan kunang-kunang, Sebelum sesap buih terakhir dan semua menjadi kenangan. Kita memang bisa memesan bir tapi tidak bisa memesan takdir.
Pada saatnya nanti ketika aku tahu bahwa akhirnya perempuan yang aku cintai itu benar-benar menikah tidak denganku, pada saat itulah aku akan menyadari bahwa aku tak menang dan akan memilih menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah aku berharap, dia tergeragap bangun memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di puting susunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar