Kamis, 18 Juni 2015

OBSESIF KOMPULSIF



OBSESIF KOMPULSIF
Jogjakarta, 13 Mei 2012 jam 01.00



Sang penunggang kuda yang megah,
matahari melesat ke dalam gelanggang yang sangat luas di mana roda langit berputar. Lawannya yang berjubah perah, bintang-bintang,
memucat dan segera mundur tergesa-gesa ke arah barat.
Air muka sang penakluk, yang bersinar-sinar terlalu menakutkan bagi cawan kristal malam, yang kemudian bergetar hingga pecah,
menumpahkan anggurnya hingga mengubah langit
menjadi lembayung dari ufuk ke ufuk.
Dengan demikian datanglah sang fajar.
Aku sedang duduk sendirian,
menabuh syair-syair pujian pada genderang kesepian.
Aku orang asing bagi peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia manusia.

Ini adalah sehelai kertas kesedihan,
yang dikirim oleh jiwa yang dipenuhi duka cita kepada jiwa yang lainnya.
Ia datang dariku, seorang tawanan, dan ditujukan kepadamu,
kau yang telah berhasil menghancurkan belenggumu dan meraih kemerdekaan.
Berapa lama kata-kata ini tersembunyi dalam hati,
terpelihara oleh cinta dan kepedihan serta duka akibat perpisahan.
Kini aku tengah mengarungi kedalaman jiwaku bagaikan seorang penyelam,
memetik mutiara demi mutiara yang teruntai menjadi sebuah kalung berbentuk surat dan kata-kata, titik dan bulatan, hiasan dan anyaman.

Kau memesonaku seperti seorang perawan
yang menghiasi dinding perasaan
dengan sutera dan anyaman,
kini kau sedang membakar dupa dalam mangkuk kuningan,
aroma kayu manis memenuhi ruangan.

Saat api cinta menyala di dalam dada,
apalagi yang bisa dilakukan untuk menjinakkannya?
Cinta telah membuat tempurung kewarasan menjadi retak,
lalu menunjukkan kekakutan jiwa yang tersembunyi di dalamnya.
Aku bagai serangga sasar yang terbang
menembus kegelapan malam untuk mengintari nyala lilin.
Hatiku berdebar seperti sayap ngengat yang terperangkap.
Memandangi wajahmu,
untuk sedetik yang terasa bagai sebuah keabadian.
Cinta telah membuat gairah hidup menjadi padam,
seakan sendi-sendi tulang remuk, sayap jiwa telah patah,
menggelepar tak berdaya dalam kubangan debu, menanti datangnya ajal.
Aku orang gila yang menjual jiwaku pada cinta,
namun anggur cinta yang kutuang berbalas siksa,
sama dengan pahitnya kayu kina.

Ketika tamanmu sedang berbunga,
aku terbaring di luar sana menderita.
Bagaimana mungkin engkau tersenyum tertawa,
sementara aku tersiksa oleh cinta.

Duka di hatiku tak kau hiraukan,
tangis di mataku tak kau pedulikan,
dan banyak janji yang kau ucapkan,
tapi tak satupun kau tunaikan.
Kau bersumpah membuat dahagaku terpuaskan,
semua sumpahmu kini kau campakkan.
Mengapa sumurmu dulu kau kau tampakkan,
jika isinya hanya kutukan?

Keluarkan aku dari sumur kesepian ini,
karena cahaya hidupku pudar dalam belantara ini.
‘Jangan takut, karena aku adalah milikmu!’ kau berkata,
bila itu benar, datanglah sekarang,
atau mereka akan menemukanku tak bernyawa.
Sekali tertangkap, kambing yang sekarat mendengar terlambat
teriakan ‘Awas srigala !’ yang akan membuatnya selamat.

Kau penyebab sekaratku berkepanjangan,
tetapi hasratku padamu membuat kau kumaafkan.
Kaulah sang matahari sementara aku bintang malam,
cahyamu menyurutkan kerlipku yang kelam.
Nyala lilin iri padamu,
bunga mawar merekah dalam namamu,
terpisah darimu? Tidak akan pernah!
cinta dan kesetiaanku hanya untukmu.
Walau tersiksa, aku akan tetap menjadi sasaran cambukmu,
ketika mati, aku adalah darah yang mengalir dalam nadimu.

Sebagai seorang yang darahnya adalah milikmu
untuk kau jual semurah yang kau kehendaki.
Kau berkata bahwa aku adalah penjaga harta,
memang aku ada di dekatnya,
namun di saat yang bersamaan aku tidak pernah sejauh ini darinya.
Kunci yang dengannya aku bisa membuka peti harta itu belum diciptakan.
Logam yang darinya kunci itu akan ditempa masih tertidur di dalam perut bebatuan.
Kau adalah Ka’bahku, padamu kukiblatkan sembahku,
tapi apa artiku bagimu?

Aku adalah tanah di bawah kakimu: jika kau melangkah lembut,
aku akan menjadi humus di musim semi yang indah dan menumbuhkan bunga-bunga.
Tapi jika kau menginjakku dengan keras,
aku akan menjadi awan debu yang berputar,
yang membungkus dan mencekikmu!
Jangan kau potong hidungmu karena iri dengan wajahmu sendiri.
Bukankah kau telah memahat namaku di atas bongkahan es agar meleleh di bawah matahari, kau orang yang telah menuntunku ke dalam nyala api.

Orang-orang yang menggali bumi dan mencari harta,
hanya untuk mendapati bahwa bumi tak akan menyerahkannya.
Bukankah selalu begitu kejadiannya sejak dulu?
Sementara burung bul-bul mengicaukan puji-pujiannya pada pohon ara,
sang gagak malah mencuri buahnya.
Seperti itulah jalannya takdir.

Kau adalah rembulan dengan segala keindahannya.
Kapankah, duhai rembulan, engkau terlepas dari rahang sang ular?
Hatiku adalah tungku yang suluhnya adalah cinta.
Jika engkau menyalakan api itu,
panas dari hatiku akan membakarnya dalam seketika.

Bilamana taman merekah oleh mawar-mawar merah
betapa cocoknya menyandingkannya dengan anggur delima.
Aku heran, untuk siapa mawar mengoyak pakaiannya?
Bukankah mangsa yang malang menjerit akan ketidakadilan?
Lalu mengapa meributkan halilintar?
Jika korbannya adalah aku!
Bagaikan tetes hujan di saat matahari terbit
yang jatuh menetes pada kelopak melati,
pada pipi sang kekasih, airmataku bercucuran.
Tulip yang memerah di seluruh daratan bagaikan batu delima.
Pencuri mana yang telah merampas intan milikku?
Pepohonan menebar wanginya dalam aroma bunga,
hingga aroma khotan tak bisa bernafas dalam kekaguman.

Katakan padaku manisku, bagaimana keadaanmu di kegelapan sana?
Apa yang telah terjadi pada kecantikanmu sekarang?
Lesung pipimu, matamu yang bercahaya,
harum semerbak ikal rambutmu yang sehitam malam.
Apa yang terjadi pada mereka?
Apa warna pakaianmu sekarang?
Mata siapa yang kau sinari sekarang
dan pikiran siapa yang kau pesonakan dengan sihir senyumanmu?
Di tepi sungai mana yang kini kau perindah?
Ranjang duri siapa yang kau ubah menjadi hamparan mawar?

Hingga akhirnya aku memilih masuk ke dalam golongan
orang-orang jalang yang telah dipenggal oleh pedang ajal,
sebuah pedang yang sedang bergantung di atasku juga.
Engkau mutiara yang menyiksa sang tiram.

Manusia tak lebih dari seberkas cahaya,
terlahir untuk bersinar dalam suatu masa yang singkat
sebelum akhirnya padam untuk selamanya.
Apakah kehidupan manusia itu selain dari sebuah kilatan halilintar di dalam kegelapan?
Ia tidak berarti apa-apa: bahkan jika ia bertahan ribuan tahun,
dibandingkan dengan keabadian, ia tidak lebih dari sebuah kedipan mata.
Dari awal, kehidupan memikul segel kematian :
kehidupan dan kematian saling melekat bagaikan sepasang pencinta,
lebih dekat dari sepasang bayi kembar yang lahir dengan badan terhimpit.
Namun bagai sebutir pasir yang menilai diri berdasarkan ukurannya sendiri,
mengambil panjang dan lebar dirinya sebagai satu-satunya ukuran untuk dunia.
Padahal di seberang gunung, ia bukan apa-apa.
Manusia hanya sebutir pasir,
seorang tawanan di dalam sebuah dunia yang penuh dengan ilusi.
Belajarlah bahwa kenyataan adalah sama sekali tidak nyata
dan bahwa kenyataan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.
Jadilah seperti lilin dan bakarlah duniamu –hanya dengan itu,
dunia yang sekarang adalah penguasamu akan menjadi budakmu.

Rembulan tampak bagaikan sebuah bola perak yang bercahaya,
sementara di kaki langit, Venus berpijar seperti lahar,
meteor jatuh ke bumi bagaikan lembing menyala-nyala
yang dilemparkan dari langit,
bintang berkelip-kelip bagai ribuan manik-manik
yang telah dipintal di  atas jubah lembayung langit.
Ketika jutaan jarum hujan menelisik kain malam,
kubenamkan wajahku ke dalam tanah
tempat aku dan kekasihku terbaring
menanti ketika nanti ditanyai oleh para malaikat di hari kiamat.

Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian,
disandingkan di dalam rahim gelap kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar