On Friday, February 25, 2011 1:32 PM, Ghis Nggar <ghisnggar@yahoo.com> wrote:
Amit Amit Jabang Bayi
Menyusuri
lorong waktu kembali ke kampung halaman, bertemu kanca kanca jambul (jaman mbulak). Bagi sebagian orang, kampung
halaman bukan sekedar tanah kelahiran, bukan sekedar tempat tujuan dalam sebuah
parjalanan yang disebut pulang. Bagi wong
ndesa seperti saya, ada hal lain yang membuat pulang kampung lebih berarti,
disamping karena alasan uang bulanan yang limit mendekati nol, ada sesuatu di
tepi kampung yang ingin ku kunjungi. Anggap saja ini hanya sepercik kisah
khayalan yang dulu pernah terjadi.
Hampir
tiap sore ketika masih SD, kami suka memandikan kebo sambil mancing ikan
di kali di tengah sawah, sampai menjelang surup.
Aku masih ingat saat pertama kali mendapatkan ikan, kelas 3 SD, seekor ikan wader sebesar dua jari nyangkut di
pancingku, aku kegirangan, tanganku gemetar memegang ikan pertamaku, hatiku bungah, mataku berbinar binar dan sampai
saat ini suka tertawa tawa sendiri mengingat itu. Harganya memang tak seberapa,
tapi kepuasan itu tak tak tenilai harganya.
Bagi
kami (petani pemilik kebo dan anak anak kampung), ini adalah simbiosis
mutualisme. Pemilik kebo bisa tenang karena kebo mereka ada yang jaga saat
mandi di kali, bagi kami, kotoran dan bau kebo yang jatuh di air kali akan
merangsang ikan ikan untuk mendekat. Apalagi saat musim hujan datang, kami malah
sering mandi bersama kebo kebo itu. Aku sama sekali tak merasa risih atau jijik mandi di kali yang berair cokelat
bersama kebo. Bahkan aku mendapat pelajaran berenang pertamaku dari kali itu.
“Pokoke nglangi,
mbuh piye carane ben ora kleleb terus isa mlaku neng banyu.” Bagitulah
petuah mBendhol, teman yang mengajariku nglangi
(renang gaya bebas paling bebas) di
kali, sambil bertelanjang dada berkacak pinggang di pinggir kali. Sementara aku
glageban di air.
Nglangi
di kali menawarkan tantangan yang lebih besar daripada berenang di kolam
renang, arusnya lebih deras, kita tak akan bisa tahu kedalaman air kali karena
warna airnya yang cokelat, banyak rajungan
(duri) di dasarnya dan yang paling menarik, bisa berenang bersama kebo, apalagi
kalau hujan turun, kulit kami sampai pucat, mata kami sampai merah karena
terlalu lama berada di air. Terus seperti itu kelakuan kami tiap sore hingga
menjelang surup, omelan orang tua kami tak mampu membendung uforia musim hujan.
“Nglangi neng
kali nganti surup !! Ben digondhol onggo inggi (hantu penjaga sungai dalam
kepercayaan orang Jawa) !!” Begitulah cacian kebanyakan orang tua kami yang gedheg gedheg, ngrasakne polahe anake. Termasuk Mbah Kung-ku. Mbah Kung-ku
orangnya terkenal galak. Nek kadhung nesu,
byuuh, kabeh sak omah isa njekithep. Kanca-kancaku pas sik cilik wedi dolan
neng omah mergakno mbah Kung-ku sing guualak kuwi. Waktu masih SD,
sebagaimana anak kecil lainnya, seneng udan-udan.
Kadang sambil lari-lari sampek desa liya.
Pulangnya hampir surup. Begitu sampai rumah, baju masih teles kebes, rambut isih
thili-thili, disambut oleh sabetan sandal kelop yang mendarat keras di
pantat. Panas. Disamblekne karo mbah
Kung-ku sak kayange. Sampek ngethok
sandale neng bokongku.
Sebelum sabetan kedua mendarat di sisi pantat
lainnya, aku dan masku yang waktu itu tak jauh lebih tinggi dariku, lari ke
kamar mandi. Waktu itu pompa air belum usum.
Pompa merek Dragon setahun kemudian baru ada. Yang ada sumur kerekan sing dipagari tembok semen melingkar itu. Tahu
dikejar mbah Kung-ku, kami berlari mengitari sumur itu. Mbah Kung-ku kewalahan.
Sebab tak bisa nyamblekne sandal selop-e. Kami yang masih kecil lebih
lincah ngubengi sumur. Muter-muter ora bakalan kecandhak.
Mbah Kung-ku tak kurang akal. Beliau ambil genter. Jadi bisa nuthuk dari seberang bibir sumur. Kami berdua juga nggak kurang
akal. Kami jongkok tiarap. Tapi dengan posisi begitu kami tak bisa lihat arah
kemana Mbah Kung akan datang. Kami amati dengan seksama dari arah kiri dan
kanan kakinya mbah Kung. Begitu lihat ujung kakinya, kami muter bergerak
menjauh. Muter kiri, muter kanan. Cethok!
Cethok! Suara genter beradu dengan bibir sumur beruntun. Disambut dengan
suara gedebuk...gedebuk...gedebuk...
suara panik langkah kami berusaha menyelamatkan diri.
Cukup lama kami muter-muter seperti itu. Mbah
Kung-ku sama sekali tak bisa menyentuh kami. Lama-lama makin jarang genternya nyogroki kami. Terus tiba-tiba berhenti.
Kami pelan-pelan berdiri. Nginceng
kemana gerangan mbah Kung-ku. Ternyata beliau sudah tak ada di sekitar sumur.
Sudah masuk rumah. Pelan-pelan, kami masuk rumah dan ngintip. Eh, kulihat Mbah
Kung-ku duduk di kursi kesayangannya sambil kepingkel-pingkel.
Baru kali ini kami melihat Mbah Kung-ku tertawa kepingkel-pingkel seperti itu.
Rupanya beliau tertawa dengan polahnya sendiri. Atau mungkin dengan polah kami
sing muter-muterke itu. Karena luapan
marahnya tak kesampaian, jadinya malah kemekelen.
"Wis gek
ndang adus, ganti klambi, terus madhang kana," teriak beliau
dari kursinya. Tahu kalau kami sedang mengintip beliau. Dadi ayem neng ati. Tapi bokongku sing kiwa isih krasa panas.
Musim
hujan telah usai, kali di tepi kampung telah berkurang banyak airnya, kali itu
kini menjadi genangan air yang hijau warnanya, sesekali terlihat cabek airnya yang disundul ikan dari
bawah, kali ing mangsa katiga sepi ora nyenengake,
tapi petualangan kami bersama kebo kebo itu tak pernah berakhir. Kami tahu
dimana bisa bertemu mereka. Musim kemarau, sawah sawah yang terhempar luas
hanya ditanami kacang, disanalah pemilik kebo melepaskan mereka, disana pula
kami bertemu mereka. Sore hari sambil methek
layangan bapangan kami berlomba, berlari, berebut menunggangi kebo,
biasanya 1 kebo dinaiki 2 sampai 3 orang. Kami menambahkan sisa pita kaset yang
sudah usang untuk memunculkan suara yang indah kala ditiup angin.
Ngooeeeeengg …
ngooeeeengg …
lembut suaranya dari angkasa.
Saat
kebo yang kami naiki mulai beranjak mencari rumput yang lebih lebat, rasanya
tubuh mungil kami seperti menyatu dengan kebo kebo yang bergerak pelan itu, rasane keri keri piye. Suatu saat aku
pernah iseng, aku sengaja mengikat tali layang layangku di tanduk kebo yang
sedang kunaiki, kebo berontak, tiba tiba kebo lari kalang kabut, kencang tanpa
arah, aku gendandapan berpegang pada
baju Tapir, kawanku yang duduk di kebo yang sama di belakangku, sialnya dia
hilang keseimbangan, mak gedebuk ! Kami
berdua jatuh berantakan di tanah kering di hamparan sawah, babak bundhas. Tapi bukanya menangis, kami malah kepingkel pingkel
mentertawakan diri sendiri.
Keisenganku
yang lain yang tak pernah bisa kulupakan adalah ketika mengerjai kawanku Galang.
Lagaknya sok ketika menunggangi kebo jantan yang nampak garang, kebo sedang
makan di rumput di dekat genangan lumpur di dekat mesin diesel. Ketika dia
sedang ngadeg pethitha pethithi di
atas kebo sambil memainkan layang layangnya,
“Deloken
bapanganku ngelip nyundhul langit !”
Diam
diam tak plintheng konthole kebo sing
gumandhul kuwi, gendandapan pisan
kebo lari kencang kalang kabut, Galang jatuh tercebur genangan, basah kuyub
seluruh tubuhnya oleh lumpur basah yang masih segar, kami tertawa ngekek.
Kampungku
hampir 50 persennya adalah sawah dan ladang penduduk tapi tak semuanya ditanami
padi, ada beberapa hektar yang ditanami tebu.
2
minggu sebelum panen, ladang tebu menjadi tempat yang pas untuk manuk gemak, semacam ayam hutan yang
berukuran lebih kecil. Sambil mencari tebu, kami berlomba menangkap gemak. Tiap
kelompok biasanya 2 orang, untuk urusan yang satu ini, aku memilih Pramana
menjadi partnerku. Tapi kami harus waspada karena bisa saja sewaktu kami sedang
berada di tengah ladang tebu mandor
penjaga tebu menangkap kami. Siang itu, matahari menyengat panas, dengan kaki
kaki telanjang kami masuk ke ladang tebu. Pramana berjalan mendahuluiku siap
siaga dengan plinthengannya, aku
hanya mengekor sambil membawa clurit,
sesekali dia menengok dan berhenti ketika menangkap suara kemeresek, tanda kemunculan gemak. Pramana langsung lari menerobos
jajaran batang batang tebu, mengejar burung gemak yang tertangkap matanya,
beberapa peluru dari tanah liat diluncurkannya namun tak satu pun kena, berkali
kali kami melihat penampakan gemak tapi sampai menjelang sore kami tak
mendapatkan buruan yang kami cari.
“Wis ayo, leren
ae.”
Ajak Pramana, aku menurut saja.
Kami
sekomplotan telah berjanji berkumpul di tepi ladang tebu di pinggir sungai di
bawah rindang pohon bambu setelah perburuan selesai. Namun beberapa langkah
kami berjalan, tiba tiba kami mendengar suara krusek krusek, tanda kemunculan gemak.
“Ssssstttt
…” Mengendak ngendap menyuruhku diam, aku tetap mengekor di belakangnya.
Anehnya suara krusek krusek itu semakin mendekat, lalu tiba tiba.
“Hoi
!! Buatjingan !!!” Mak bedunduk Mandor tebu melotot
matanya, marah seperti singa yang dicaplok wilayahnya.
Kami
kaget dan langsung lari nubyak nubyak
tebon.
Sampai
di tempat yang ditentukan, tak satupun dari kami yang mendapatkan buruan,
sebagai penggantinya, kami menyantap tebu yang hampir panen.
“Diamput, aku
mau ketemu wong neng jero tebon, tak kira mandor, jebule Samiran mangan tebu,
tiwas mlayu aku mau !” Kata Minthul yang satu kelompok dengan Tapir. Kami
tertawa mendengarnya. Samiran adalah orang gila yang tinggal di kampungku.
Sambil
menahan sakit di perut karena terlalu banyak tawa, gigi gigi mungil kami
dipaksa menggigit batang tebu yang kerasnya minta ampun, sampai sampai otot
leher terlihat mencuat mrengkel, ngeden.
Sebenarnya,
motivasi utama kami saat menggigit batang batang tebu yang kerasnya minta ampun
itu bukan untuk mendapatkan rasa manis sari tebu yang tak seberapa, tapi karena
gengsi, malu kalau ketahuan gigi gigi susu kami ora tedhas nyokot tebu.
“We nyapo ra
mangan tebu?
“Untumu teyeng
pa piye? Ra tedhas mangan tebu, kene tak ungkale dhisek !” Sapa sing ora abang kupinge, metu siyunge,
gedheg raine nek diasorake kaya ngono kuwi jal? Apa maneh bar kuwi diguyu sak
kalangan, byuuh rasane !
Menjelang
surup, kali di musim kemarau masih sepi, meninggalkan genangan air yang
terabaikan, tak ada keceriaan anak kampung mandi bersama kebo atau sekedar memancing
ikan, tak ada uforia musim hujan. Tapi di tepi kali ini, dibawah pohon bambu,
di depan jalan guyangan kebo, kami
akan tetap menunggu hujan turun.
Saat
kecil aku sering ikut Ibuku ke pasar tradisional, di dekat stasiun kecil di kampung
tetangga. Pasar mBabadan, biasanya
ramai saat hari pasaran Minggu Wage
dan Minggu Legi. Setelah subuh beliau
membangunkanku, menyuruhku mandi dan bersiap sementara wanita paling cantik
sedunia itu menyiapkan tas dan daftar belanjaan. Pasar yang ramai, interaksi
komunikasi antar manusia bercampur baur dimana mana, aku mengekor saja,
mengikuti kemana Ibuku melangkah menjelajahi pasar, berhenti di spot spot
sesuai daftar belanjaan. Aku ingat, wanita wanita tua dan tengah baya masih
banyak yang memakai jarik batik,
menggendong barangnya di punggung, diikat dengan kain, rambutnya digelung rapi
ke belakang, nampak sopan, anggun sekligus tomboy. Sementara yang laki laki
memakai celana komboran (celana kain
berwarna hitam longgar, biasanya dipakai warok) dan kaus yang dibalut dengan
baju berjenis surjan berwarna hitam.
Hampir semuanya bertelanjang kaki. Selain belajaan untuk keperluan sehari hari,
Ibu selalu membelikan mbako (tembakau)
untuk Mbah Kung dan Mbah Putri-ku. Bagi mereka, tembakau merupakan kebutuhan
primer, buat Mbah Kung untuk ngelinting
rokok, sementara Mbah Putriku untuk nginang
(cara tradisional orang Jawa untuk membersihkan gigi. Caranya tambakau dibentuk
bulat bulat bola, lalu digosok gosok ke seluruh bagian gigi, setelah itu
digigit lama lama di mulut bagian samping, dan yang terakhir “cuh”, Mbah
Putriku meludah, ludahnya kental berwarna cokelat pekat kemerahan).
Mbah
Kung-ku sendiri adalah perokok, beliau selalu ngelinting sendiri rokoknya, sambil melagukan tembang tembang Jawa
di teras rumah. Pecandu tingwe (nglinting
dhewe) dan sangat anti dengan rokok buatan pabrik.
“Rokok rasane
kayak uyuh jaran !”
Begitu katanya ketika mencoba rokok kretek tujuh enam yang diberikan Bu lik
Dhamis suatu hari.
Sebelum
pulang dari pasar, Ibu selalu membelikanku grontol,
jajanan tradisional favoritku, terbuat dari biji jagung yang direbus hingga
empuk dan diberi parutan kelapa, rasanya manis dan biasanya berwarna merah dan
kuning dibungkus daun jati, aku tersenyum dan suka melet melet menerimanya. Dan satu lagi jamu beras kencur. Mungkin itu tanda terima kasih buatku yang telah
menemaninya berbelanja di pasar dan membantunya membawakan barang belanjaan.
Liburan
semester lalu, saat aku pulang ke suatu tempat yang disebut rumah, kembali ke
kampung itu lagi, kusempatkan mengunjungi kali dimana dulu aku sering berpesta
bersama kawan kampungku. Saat hujan sengaja aku keluar rumah, namun tak
kudapati uforia itu lagi. Tak ada kebo yang diguyang, tak ada anak anak kampung
yang mandi di kali. Aku berhenti, berdiri lama di tepi kali membayangkan masa
masa itu di tengah hujan yang semakin lebat.
Keesokan
harinya aku mengunjungi Minthul yang sekarang bekerja di sebuah mueble di depan
pasar kunam (pasar manuk), saat
istirahat siang aku mengajaknya nongkrong di warung di dalam pasar sambil
mengobrol melepas rindu. Wajahnya tak seceria saat masih kecil dulu, seperti
digelayuti beban berat, sudah banyak yang berubah dari sahabatku itu, tubuhnya
kurus tapi terlihat berotot, kulitnya menghitam dan rambutnya acak acakan tak
terurus. Kami bicara panjang lebar siang itu, aku lebih banyak mendengarkan
cerita darinya tentang sahabat sahabat kami yang lain.
mBendhol
dan Minthul dulu sama sama sekolah di STM Gamaliel, setelah lulus STM, mereka
berdua merantau di Jakarta, jadi kuli beberapa bulan, namun karena suatu
alasan, Minthul memutuskan pulang dan mBendol enggan diajak pulang. Itulah
pertemuan mereka terakhir kalinya, sejak saat itu, sekitar 4 tahun yang lalu,
mBendhol benar benar menghilang ditelan Jakarta, teman dan sanak keluarganya
tak tahu keberadaannya.
“mBendhol
ilang.”
Begitu katanya menutup cerita dengan wajah melas.
Cerita
Pramana tak kalah menyedihkan, usianya sekarang baru 20 tahun. Setahun yang
lalu dia menghamili anak orang, terpaksa dia bertanggung jawab dan menikah
dini, 4 bulan setelah ijab khabul istrinya melahirkan anak pertamanya. Ini
bukan kabar gembira. Bapaknya hanya tani biasa.
Sebelumnya
dia bekerja di pelabuhan Merak di perusahaan jasa distribusi milik kakak
keponakannya, namun setelah kejadian itu sampai sekarang Pramana tak berani
keluar rumah, dia hanya di rumah saja sepanjang hari, takut dihajar dan tak
kuat menahan gunjingan, dikucilkan orang kampung. Kakak keponakannya bahkan
menghajarnya habis habisan dan tak mau menerimanya bekerja di tempatnya lagi.
Miris.
Sebelum
Bulan Ramadhan tahun 2010 lalu, ada berita duka. Sahabatku Galang mengalami
kecelakaan dan meninggal dunia.
Tapir
sekarang bekerja jadi kuli di pengeboran minyak di Kalimantan, lewat telepon dia
bercerita tentang kerasnya menjalani hidup disana, 2 minggu tak pulang tinggal
di jermal laut lepas, makan seadanya tidur dengan alas alakadarnya, 2 minggu
kemudian libur menganggur di kos. Begitulah kesibukannya tiap bulan. Gajinya
tak pernah cukup untuk biaya pulang kampung.
Aku
sendiri tak jauh beda, nasibku bisa dibilang tak lebih baik dari mereka.
Sepulang
mengunjungi Minthul aku langsung pergi ke makam, nyekar. Di gundukan gundukan tanah itu, orang orang terdekatku
telah terbaring kaku, mungkin sudah pada dimakan cacing cacing tanah. Lama sekali
kupanjatkan do’a untuk mereka, semoga mereka mendapat tempat yang terbaik di
sisi-Nya.
2
hari sebelum aku kembali ke Jogja, Mbah Putri-ku menjalani operasi katarak.
Mbah putriku masih setia dengan jarik batik dan baju tradisionalnya, model
rambut diikat ke belakang yang tak pernah berubah sejak dulu. Aku menemaninya
saat operasi, selalu di sampingnya, aku sendiri yang menyetir saat membawanya
ke RS. Selesai operasi aku memberikan hadiah untuknya, setengah kilogram
tembakau untuk nginang.
Dalam
hati kuucapkan banyak terima kasih untuk mereka, Mbah Kung dan Mbah Putri-ku, Masku,
Orang tua, kanca kanca dolanan, sawah, kali, ladang tebu beserta ikan dan kebo
kebonya. Mereka yang mengajariku bagaimana caranya tersenyum dan tertawa. Dari
mereka pula terkuak sudah makna dan perbedaan kebahagiaan yang bersemayam di
hati dan kesenangan yang hanya sebuah luapan emosi.
Di
dalam kereta kusempatkan merenung sebentar.
Semuanya
sudah berubah, orang yang telah mati tak pernah benar benar menghilang, alam
semesta hanya merubahnya. Aku teringat syair Prabu Jayabaya dalam sebuah kuliah sastra klasik.
Kali ilang
kedhunge (sungai
telah kehilangan kubangannya. Sekarang hampir semua sungai dibangun, dasar dan
sisi sisinya disemen dipagari batu batu besar dengan dalih mengurangi erosi. Satu
sisi itu benar tapi akibatnya, tak ada lagi guyangan untuk kebo kebo berkubang,
ikan ikan akan lebih senang dengan lumpur air cokelat alakadarnya. Kebo, ikan, cuyu, rajungan dan anak kampung telah
kehilangan tempat bermainnya.)
Pasar ilang
kumandhange (pasar
telah kehilangan pesonanya. Bagi orang kampung, pasar bukan hanya tempat
bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi seperti yang
diteorikan dalam buku ekonomi, namun lebih dari itu, pasar adalah tempat
berinteraksi, tempat dimana orang orang dengan berbagai karakter saling
mengenal dan bersosialisasi. Pembangunan mall dan maraknya minimarket adalah
penyebabnya. Pemerintah terlalu condong pada kepentingan kaum kapitalis,
akibatnya pasar tradisional semakin terdesak, dan pengangguran membludak. Aku
tak lagi menemukan pesona riuh rendah suara orang tawar menawar ala pasar
tradisional di mall dan minimarket perkotaan, tak ada lagi pedagang dan pembeli
yang dengan semangat berbondong bondong pergi ke pasar saat subuh, tak ada lagi
anak kelas 3 SD yang mengekor Ibunya sambil keteteran membawa belanjaan keliling
pasar.)
Wong wadon ilang
rasa isine (perempuan
telah kehilangan rasa malunya. Di kota ini, Jogjakarta, yang katanya kota
budaya, penjaga tradisi dan anti globalisasi. Aku sering melihat perempuan
perempuan berkeliaran malam malam memakai celana hotpan, clana cekak sambil nongkrong di depan minimarket, meneguk
bir sambil menghisap rokok sesukanya seperti tak ada norma yang dilanggarnya. Ngaaaakkk !!!)
Tanah Jawa
sabukan wesi (Pulau
Jawa memakai sabuk besi. Banyak rel rel kereta api yang menghubungkan kota kota
di Pulau Jawa.)
Bacaan ringan untuk mengisi waktu senggang di akhir
pekan
Selamat menikmati waktunya di akhir pekan, santai
bersama teman teman atau piknik bersama keluarga tercinta
Salam
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar