Kamis, 18 Juni 2015

Tanpa Judul

On Friday, February 25, 2011 1:32 PM, Ghis Nggar <ghisnggar@yahoo.com> wrote:


Amit Amit Jabang Bayi
 
Menyusuri lorong waktu kembali ke kampung halaman, bertemu kanca kanca jambul (jaman mbulak). Bagi sebagian orang, kampung halaman bukan sekedar tanah kelahiran, bukan sekedar tempat tujuan dalam sebuah parjalanan yang disebut pulang. Bagi wong ndesa seperti saya, ada hal lain yang membuat pulang kampung lebih berarti, disamping karena alasan uang bulanan yang limit mendekati nol, ada sesuatu di tepi kampung yang ingin ku kunjungi. Anggap saja ini hanya sepercik kisah khayalan yang dulu pernah terjadi.
 
Hampir tiap sore ketika masih SD, kami suka memandikan kebo sambil mancing ikan di kali di tengah sawah, sampai menjelang surup. Aku masih ingat saat pertama kali mendapatkan ikan, kelas 3 SD, seekor ikan wader sebesar dua jari nyangkut di pancingku, aku kegirangan, tanganku gemetar memegang ikan pertamaku, hatiku bungah, mataku berbinar binar dan sampai saat ini suka tertawa tawa sendiri mengingat itu. Harganya memang tak seberapa, tapi kepuasan itu tak tak tenilai harganya.
 
Bagi kami (petani pemilik kebo dan anak anak kampung), ini adalah simbiosis mutualisme. Pemilik kebo bisa tenang karena kebo mereka ada yang jaga saat mandi di kali, bagi kami, kotoran dan bau kebo yang jatuh di air kali akan merangsang ikan ikan untuk mendekat. Apalagi saat musim hujan datang, kami malah sering mandi bersama kebo kebo itu. Aku sama sekali tak merasa risih atau jijik mandi di kali yang berair cokelat bersama kebo. Bahkan aku mendapat pelajaran berenang pertamaku dari kali itu.
“Pokoke nglangi, mbuh piye carane ben ora kleleb terus isa mlaku neng banyu.” Bagitulah petuah mBendhol, teman yang mengajariku nglangi  (renang gaya bebas paling bebas) di kali, sambil bertelanjang dada berkacak pinggang di pinggir kali. Sementara aku glageban di air.
Nglangi di kali menawarkan tantangan yang lebih besar daripada berenang di kolam renang, arusnya lebih deras, kita tak akan bisa tahu kedalaman air kali karena warna airnya yang cokelat, banyak rajungan (duri) di dasarnya dan yang paling menarik, bisa berenang bersama kebo, apalagi kalau hujan turun, kulit kami sampai pucat, mata kami sampai merah karena terlalu lama berada di air. Terus seperti itu kelakuan kami tiap sore hingga menjelang surup, omelan orang tua kami tak mampu membendung uforia musim hujan.
“Nglangi neng kali nganti surup !! Ben digondhol onggo inggi (hantu penjaga sungai dalam kepercayaan orang Jawa) !!” Begitulah cacian kebanyakan orang tua kami yang gedheg gedheg, ngrasakne polahe anake. Termasuk Mbah Kung-ku. Mbah Kung-ku orangnya terkenal galak. Nek kadhung nesu, byuuh, kabeh sak omah isa njekithep. Kanca-kancaku pas sik cilik wedi dolan neng omah mergakno mbah Kung-ku sing guualak kuwi. Waktu masih SD, sebagaimana anak kecil lainnya, seneng udan-udan. Kadang sambil lari-lari sampek desa liya. Pulangnya hampir surup. Begitu sampai rumah, baju masih teles kebes, rambut isih thili-thili, disambut oleh sabetan sandal kelop yang mendarat keras di pantat. Panas. Disamblekne karo mbah Kung-ku sak kayange. Sampek ngethok sandale neng bokongku.
Sebelum sabetan kedua mendarat di sisi pantat lainnya, aku dan masku yang waktu itu tak jauh lebih tinggi dariku, lari ke kamar mandi. Waktu itu pompa air belum usum. Pompa merek Dragon setahun kemudian baru ada. Yang ada sumur kerekan sing dipagari tembok semen melingkar itu. Tahu dikejar mbah Kung-ku, kami berlari mengitari sumur itu. Mbah Kung-ku kewalahan. Sebab tak bisa nyamblekne sandal selop-e. Kami yang masih kecil lebih lincah ngubengi sumur. Muter-muter ora bakalan kecandhak.
Mbah Kung-ku tak kurang akal. Beliau ambil genter. Jadi bisa nuthuk dari seberang bibir sumur. Kami berdua juga nggak kurang akal. Kami jongkok tiarap. Tapi dengan posisi begitu kami tak bisa lihat arah kemana Mbah Kung akan datang. Kami amati dengan seksama dari arah kiri dan kanan kakinya mbah Kung. Begitu lihat ujung kakinya, kami muter bergerak menjauh. Muter kiri, muter kanan. Cethok! Cethok! Suara genter beradu dengan bibir sumur beruntun. Disambut dengan suara gedebuk...gedebuk...gedebuk... suara panik langkah kami berusaha menyelamatkan diri.
Cukup lama kami muter-muter seperti itu. Mbah Kung-ku sama sekali tak bisa menyentuh kami. Lama-lama makin jarang genternya nyogroki kami. Terus tiba-tiba berhenti. Kami pelan-pelan berdiri. Nginceng kemana gerangan mbah Kung-ku. Ternyata beliau sudah tak ada di sekitar sumur. Sudah masuk rumah. Pelan-pelan, kami masuk rumah dan ngintip. Eh, kulihat Mbah Kung-ku duduk di kursi kesayangannya sambil kepingkel-pingkel. Baru kali ini kami melihat Mbah Kung-ku tertawa kepingkel-pingkel seperti itu. Rupanya beliau tertawa dengan polahnya sendiri. Atau mungkin dengan polah kami sing muter-muterke itu. Karena luapan marahnya tak kesampaian, jadinya malah kemekelen.
"Wis gek ndang adus, ganti klambi, terus madhang kana," teriak beliau dari kursinya. Tahu kalau kami sedang mengintip beliau. Dadi ayem neng ati. Tapi bokongku sing kiwa isih krasa panas.
 
Musim hujan telah usai, kali di tepi kampung telah berkurang banyak airnya, kali itu kini menjadi genangan air yang hijau warnanya, sesekali terlihat cabek airnya yang disundul ikan dari bawah, kali ing mangsa katiga sepi ora nyenengake, tapi petualangan kami bersama kebo kebo itu tak pernah berakhir. Kami tahu dimana bisa bertemu mereka. Musim kemarau, sawah sawah yang terhempar luas hanya ditanami kacang, disanalah pemilik kebo melepaskan mereka, disana pula kami bertemu mereka. Sore hari sambil methek layangan bapangan kami berlomba, berlari, berebut menunggangi kebo, biasanya 1 kebo dinaiki 2 sampai 3 orang. Kami menambahkan sisa pita kaset yang sudah usang untuk memunculkan suara yang indah kala ditiup angin.
Ngooeeeeengg … ngooeeeengg … lembut suaranya dari angkasa.
Saat kebo yang kami naiki mulai beranjak mencari rumput yang lebih lebat, rasanya tubuh mungil kami seperti menyatu dengan kebo kebo yang bergerak pelan itu, rasane keri keri piye. Suatu saat aku pernah iseng, aku sengaja mengikat tali layang layangku di tanduk kebo yang sedang kunaiki, kebo berontak, tiba tiba kebo lari kalang kabut, kencang tanpa arah, aku gendandapan berpegang pada baju Tapir, kawanku yang duduk di kebo yang sama di belakangku, sialnya dia hilang keseimbangan, mak gedebuk ! Kami berdua jatuh berantakan di tanah kering di hamparan sawah, babak bundhas. Tapi bukanya menangis, kami malah kepingkel pingkel mentertawakan diri sendiri.
Keisenganku yang lain yang tak pernah bisa kulupakan adalah ketika mengerjai kawanku Galang. Lagaknya sok ketika menunggangi kebo jantan yang nampak garang, kebo sedang makan di rumput di dekat genangan lumpur di dekat mesin diesel. Ketika dia sedang ngadeg pethitha pethithi di atas kebo sambil memainkan layang layangnya,
“Deloken bapanganku ngelip nyundhul langit !”
Diam diam tak plintheng konthole kebo sing gumandhul kuwi, gendandapan pisan kebo lari kencang kalang kabut, Galang jatuh tercebur genangan, basah kuyub seluruh tubuhnya oleh lumpur basah yang masih segar, kami tertawa ngekek.
 
Kampungku hampir 50 persennya adalah sawah dan ladang penduduk tapi tak semuanya ditanami padi, ada beberapa hektar yang ditanami tebu.
2 minggu sebelum panen, ladang tebu menjadi tempat yang pas untuk manuk gemak, semacam ayam hutan yang berukuran lebih kecil. Sambil mencari tebu, kami berlomba menangkap gemak. Tiap kelompok biasanya 2 orang, untuk urusan yang satu ini, aku memilih Pramana menjadi partnerku. Tapi kami harus waspada karena bisa saja sewaktu kami sedang berada di tengah ladang tebu mandor penjaga tebu menangkap kami. Siang itu, matahari menyengat panas, dengan kaki kaki telanjang kami masuk ke ladang tebu. Pramana berjalan mendahuluiku siap siaga dengan plinthengannya, aku hanya mengekor sambil membawa clurit, sesekali dia menengok dan berhenti ketika menangkap suara kemeresek, tanda kemunculan gemak. Pramana langsung lari menerobos jajaran batang batang tebu, mengejar burung gemak yang tertangkap matanya, beberapa peluru dari tanah liat diluncurkannya namun tak satu pun kena, berkali kali kami melihat penampakan gemak tapi sampai menjelang sore kami tak mendapatkan buruan yang kami cari.
“Wis ayo, leren ae.” Ajak Pramana, aku menurut saja.
Kami sekomplotan telah berjanji berkumpul di tepi ladang tebu di pinggir sungai di bawah rindang pohon bambu setelah perburuan selesai. Namun beberapa langkah kami berjalan, tiba tiba kami mendengar suara krusek krusek, tanda kemunculan gemak.
“Ssssstttt …” Mengendak ngendap menyuruhku diam, aku tetap mengekor di belakangnya. Anehnya suara krusek krusek itu semakin mendekat, lalu tiba tiba.
“Hoi !! Buatjingan !!!” Mak bedunduk Mandor tebu melotot matanya, marah seperti singa yang dicaplok wilayahnya.
Kami kaget dan langsung lari nubyak nubyak tebon.
 
Sampai di tempat yang ditentukan, tak satupun dari kami yang mendapatkan buruan, sebagai penggantinya, kami menyantap tebu yang hampir panen.
“Diamput, aku mau ketemu wong neng jero tebon, tak kira mandor, jebule Samiran mangan tebu, tiwas mlayu aku mau !” Kata Minthul yang satu kelompok dengan Tapir. Kami tertawa mendengarnya. Samiran adalah orang gila yang tinggal di kampungku.
Sambil menahan sakit di perut karena terlalu banyak tawa, gigi gigi mungil kami dipaksa menggigit batang tebu yang kerasnya minta ampun, sampai sampai otot leher terlihat mencuat mrengkel, ngeden.
Sebenarnya, motivasi utama kami saat menggigit batang batang tebu yang kerasnya minta ampun itu bukan untuk mendapatkan rasa manis sari tebu yang tak seberapa, tapi karena gengsi, malu kalau ketahuan gigi gigi susu kami ora tedhas nyokot tebu.
“We nyapo ra mangan tebu?
“Untumu teyeng pa piye? Ra tedhas mangan tebu, kene tak ungkale dhisek !” Sapa sing ora abang kupinge, metu siyunge, gedheg raine nek diasorake kaya ngono kuwi jal? Apa maneh bar kuwi diguyu sak kalangan, byuuh rasane !
 
Menjelang surup, kali di musim kemarau masih sepi, meninggalkan genangan air yang terabaikan, tak ada keceriaan anak kampung mandi bersama kebo atau sekedar memancing ikan, tak ada uforia musim hujan. Tapi di tepi kali ini, dibawah pohon bambu, di depan jalan guyangan kebo, kami akan tetap menunggu hujan turun.
 
Saat kecil aku sering ikut Ibuku ke pasar tradisional, di dekat stasiun kecil di kampung tetangga. Pasar mBabadan, biasanya ramai saat hari pasaran Minggu Wage dan Minggu Legi. Setelah subuh beliau membangunkanku, menyuruhku mandi dan bersiap sementara wanita paling cantik sedunia itu menyiapkan tas dan daftar belanjaan. Pasar yang ramai, interaksi komunikasi antar manusia bercampur baur dimana mana, aku mengekor saja, mengikuti kemana Ibuku melangkah menjelajahi pasar, berhenti di spot spot sesuai daftar belanjaan. Aku ingat, wanita wanita tua dan tengah baya masih banyak yang memakai jarik batik, menggendong barangnya di punggung, diikat dengan kain, rambutnya digelung rapi ke belakang, nampak sopan, anggun sekligus tomboy. Sementara yang laki laki memakai celana komboran (celana kain berwarna hitam longgar, biasanya dipakai warok) dan kaus yang dibalut dengan baju berjenis surjan berwarna hitam. Hampir semuanya bertelanjang kaki. Selain belajaan untuk keperluan sehari hari, Ibu selalu membelikan mbako (tembakau) untuk Mbah Kung dan Mbah Putri-ku. Bagi mereka, tembakau merupakan kebutuhan primer, buat Mbah Kung untuk ngelinting rokok, sementara Mbah Putriku untuk nginang (cara tradisional orang Jawa untuk membersihkan gigi. Caranya tambakau dibentuk bulat bulat bola, lalu digosok gosok ke seluruh bagian gigi, setelah itu digigit lama lama di mulut bagian samping, dan yang terakhir “cuh”, Mbah Putriku meludah, ludahnya kental berwarna cokelat pekat kemerahan).
Mbah Kung-ku sendiri adalah perokok, beliau selalu ngelinting sendiri rokoknya, sambil melagukan tembang tembang Jawa di teras rumah. Pecandu tingwe (nglinting dhewe) dan sangat anti dengan rokok buatan pabrik.
“Rokok rasane kayak uyuh jaran !” Begitu katanya ketika mencoba rokok kretek tujuh enam yang diberikan Bu lik Dhamis suatu hari.
Sebelum pulang dari pasar, Ibu selalu membelikanku grontol, jajanan tradisional favoritku, terbuat dari biji jagung yang direbus hingga empuk dan diberi parutan kelapa, rasanya manis dan biasanya berwarna merah dan kuning dibungkus daun jati, aku tersenyum dan suka melet melet menerimanya. Dan satu lagi jamu beras kencur. Mungkin itu tanda terima kasih buatku yang telah menemaninya berbelanja di pasar dan membantunya membawakan barang belanjaan.
 
Liburan semester lalu, saat aku pulang ke suatu tempat yang disebut rumah, kembali ke kampung itu lagi, kusempatkan mengunjungi kali dimana dulu aku sering berpesta bersama kawan kampungku. Saat hujan sengaja aku keluar rumah, namun tak kudapati uforia itu lagi. Tak ada kebo yang diguyang, tak ada anak anak kampung yang mandi di kali. Aku berhenti, berdiri lama di tepi kali membayangkan masa masa itu di tengah hujan yang semakin lebat.
Keesokan harinya aku mengunjungi Minthul yang sekarang bekerja di sebuah mueble di depan pasar kunam (pasar manuk), saat istirahat siang aku mengajaknya nongkrong di warung di dalam pasar sambil mengobrol melepas rindu. Wajahnya tak seceria saat masih kecil dulu, seperti digelayuti beban berat, sudah banyak yang berubah dari sahabatku itu, tubuhnya kurus tapi terlihat berotot, kulitnya menghitam dan rambutnya acak acakan tak terurus. Kami bicara panjang lebar siang itu, aku lebih banyak mendengarkan cerita darinya tentang sahabat sahabat kami yang lain.
mBendhol dan Minthul dulu sama sama sekolah di STM Gamaliel, setelah lulus STM, mereka berdua merantau di Jakarta, jadi kuli beberapa bulan, namun karena suatu alasan, Minthul memutuskan pulang dan mBendol enggan diajak pulang. Itulah pertemuan mereka terakhir kalinya, sejak saat itu, sekitar 4 tahun yang lalu, mBendhol benar benar menghilang ditelan Jakarta, teman dan sanak keluarganya tak tahu keberadaannya.
“mBendhol ilang.” Begitu katanya menutup cerita dengan wajah melas.
Cerita Pramana tak kalah menyedihkan, usianya sekarang baru 20 tahun. Setahun yang lalu dia menghamili anak orang, terpaksa dia bertanggung jawab dan menikah dini, 4 bulan setelah ijab khabul istrinya melahirkan anak pertamanya. Ini bukan kabar gembira. Bapaknya hanya tani biasa.
Sebelumnya dia bekerja di pelabuhan Merak di perusahaan jasa distribusi milik kakak keponakannya, namun setelah kejadian itu sampai sekarang Pramana tak berani keluar rumah, dia hanya di rumah saja sepanjang hari, takut dihajar dan tak kuat menahan gunjingan, dikucilkan orang kampung. Kakak keponakannya bahkan menghajarnya habis habisan dan tak mau menerimanya bekerja di tempatnya lagi. Miris.
Sebelum Bulan Ramadhan tahun 2010 lalu, ada berita duka. Sahabatku Galang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Tapir sekarang bekerja jadi kuli di pengeboran minyak di Kalimantan, lewat telepon dia bercerita tentang kerasnya menjalani hidup disana, 2 minggu tak pulang tinggal di jermal laut lepas, makan seadanya tidur dengan alas alakadarnya, 2 minggu kemudian libur menganggur di kos. Begitulah kesibukannya tiap bulan. Gajinya tak pernah cukup untuk biaya pulang kampung.
Aku sendiri tak jauh beda, nasibku bisa dibilang tak lebih baik dari mereka.
Sepulang mengunjungi Minthul aku langsung pergi ke makam, nyekar. Di gundukan gundukan tanah itu, orang orang terdekatku telah terbaring kaku, mungkin sudah pada dimakan cacing cacing tanah. Lama sekali kupanjatkan do’a untuk mereka, semoga mereka mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya.
 
2 hari sebelum aku kembali ke Jogja, Mbah Putri-ku menjalani operasi katarak. Mbah putriku masih setia dengan jarik batik dan baju tradisionalnya, model rambut diikat ke belakang yang tak pernah berubah sejak dulu. Aku menemaninya saat operasi, selalu di sampingnya, aku sendiri yang menyetir saat membawanya ke RS. Selesai operasi aku memberikan hadiah untuknya, setengah kilogram tembakau untuk nginang.
 
Dalam hati kuucapkan banyak terima kasih untuk mereka, Mbah Kung dan Mbah Putri-ku, Masku, Orang tua, kanca kanca dolanan, sawah, kali, ladang tebu beserta ikan dan kebo kebonya. Mereka yang mengajariku bagaimana caranya tersenyum dan tertawa. Dari mereka pula terkuak sudah makna dan perbedaan kebahagiaan yang bersemayam di hati dan kesenangan yang hanya sebuah luapan emosi.
 
Di dalam kereta kusempatkan merenung sebentar.
Semuanya sudah berubah, orang yang telah mati tak pernah benar benar menghilang, alam semesta hanya merubahnya. Aku teringat syair Prabu Jayabaya dalam sebuah kuliah sastra klasik.
Kali ilang kedhunge (sungai telah kehilangan kubangannya. Sekarang hampir semua sungai dibangun, dasar dan sisi sisinya disemen dipagari batu batu besar dengan dalih mengurangi erosi. Satu sisi itu benar tapi akibatnya, tak ada lagi guyangan untuk kebo kebo berkubang, ikan ikan akan lebih senang dengan lumpur air cokelat alakadarnya. Kebo, ikan, cuyu, rajungan dan anak kampung telah kehilangan tempat bermainnya.)
Pasar ilang kumandhange (pasar telah kehilangan pesonanya. Bagi orang kampung, pasar bukan hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi seperti yang diteorikan dalam buku ekonomi, namun lebih dari itu, pasar adalah tempat berinteraksi, tempat dimana orang orang dengan berbagai karakter saling mengenal dan bersosialisasi. Pembangunan mall dan maraknya minimarket adalah penyebabnya. Pemerintah terlalu condong pada kepentingan kaum kapitalis, akibatnya pasar tradisional semakin terdesak, dan pengangguran membludak. Aku tak lagi menemukan pesona riuh rendah suara orang tawar menawar ala pasar tradisional di mall dan minimarket perkotaan, tak ada lagi pedagang dan pembeli yang dengan semangat berbondong bondong pergi ke pasar saat subuh, tak ada lagi anak kelas 3 SD yang mengekor Ibunya sambil keteteran membawa belanjaan keliling pasar.)
Wong wadon ilang rasa isine (perempuan telah kehilangan rasa malunya. Di kota ini, Jogjakarta, yang katanya kota budaya, penjaga tradisi dan anti globalisasi. Aku sering melihat perempuan perempuan berkeliaran malam malam memakai celana hotpan, clana cekak sambil nongkrong di depan minimarket, meneguk bir sambil menghisap rokok sesukanya seperti tak ada norma yang dilanggarnya. Ngaaaakkk !!!)
Tanah Jawa sabukan wesi (Pulau Jawa memakai sabuk besi. Banyak rel rel kereta api yang menghubungkan kota kota di Pulau Jawa.)
 
 
Bacaan ringan untuk mengisi waktu senggang di akhir pekan
Selamat menikmati waktunya di akhir pekan, santai bersama teman teman atau piknik bersama keluarga tercinta
Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar