Kamis, 18 Juni 2015

Fiksi Rumah Susun Mungkin kau pernah mendengarnya

14 February 2012, 7:00pm 


Aku penghuni rumah susun lantai enam. Mia, gadis yang tinggal persisi di sebelah dinding kamarku, mungkin dia tidak hanya mendengar petikan gitarku, atau semua cerita-ceritaku. Juga semua nafsuku dan Renta dan kata-kata hati kami. Mia benar-benar seorang gadis. Hobinya mengalunkan cello dengan melodi klasik yang sebelumnya tidak pernah menggema di lorong rumah susun ini. (Kontras sekali, ada alunan melodi klasik cello di rumah susun kumuh ini. Musik yang bernilai seni tinggi mewarnai anak-anak rumah susun bermain angklok, mengibas-ngibas jemuran yang digantung di teras dan jendela rumah susun tanpa etika.) Pakaiannya bagus-bagus, kulitnya putih terawat. Mana ada lelaki biasa yang tak ingin mengelusnya. Tapi Mia bukan gadis biasa. Dia membawa angin berbeda ke dalam rumah susun ini. Bukan cinta. Bukan juga rindu. Bukan juga keluguan yang nampak sekilas ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Entah apa. Yang jelas, semenjak kehadiran dirinya, kehidupan di rumah susun ini tidak akan pernah menjadi seperti semula. Dan dia juga bukan Renta –wanita yang hidup serumah denganku selama tiga tahun terakhir. Bukan, dia bukan pacarku, apalagi istri. Aku dan Renta terikat oleh rasa, bukan oleh cincin pernikahan atau janji-janji gombal ABG yang baru mengenal pacaran. Renta sudah ada di sisi dinding yang satu lagi jauh sebelum ada nama Mia. Mungkin Mia telah mengerti apa yang kutulis. Mungkin dia juga telah memberikan inspirasi. Tapi dia tetap bukan Renta. Renta yang ketika ada memberi sakit kepala, tapi ketika menghilang memberikan kekosongan di lorong rumah susun dan di dalam dinding antara kamarku dengan kamar Mia.
ӁӁӁ
Aku seorang lelaki tua di lantai tujuh rumah susun. Aku duduk di atas tikar, tikar yang sama yang telah kududuki selama lima tahun. Di sini, di depan kamar rumah susunku. Bukan, bukan kamarku. Kalau aku mengakui bahwa kamar ini adalah kamarku berarti aku kalah, dan mereka menang. Mereka membakar rumahku lima tahun yang lalu, mereka mengambil tanah kami untuk membangun rumah susun ini. Mereka tidak memberi ganti rugi, mereka hanya memberiku sebuah kamar di lantai tujuh, yang tidak akan pernah bisa menggantikan rumahku yang lama. Bukan karena rumahku yang dulu adalah rumah yang besar, tapi aku membangunnya dengan tanganku sendiri. Adikaryaku, satu-satunya adikarya yang pernah aku punya. Pernikahanku jelas sekali bukan sebuah adikarya, istriku bodoh, aku bodoh. Kami bahkan tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi. Kami tidak pernah bersekolah, mungkin karena itu. Ketiga anakku juga bukan adikarya. Anak laki-lakiku yang paling besar kini menghilang. Dia menikam orang sampai mati ketika berumur empat belas tahun, dan dipenjara. Aku tidak tahu apa dia sudah dibebaskan atau belum. Anakku yang kedua, tinggal di rumah, selalu di rumah, tidak pernah pergi ke luar atau melakukan apa-apa. Dia tidak bekerja, tidak sekolah. Tidak ada satupun anakku yang pernah sekolah, mungkin karena itu. Anakku yang ketiga, perempuan. Mungkin dia yang bisa dikata mendekati sebuah adikarya. Senyumnya manis, kulitnya bersih, sekalipun tidak pernah melakukan perawatan muka. Perawatan muka apa, keluargaku makan saja sulit. Sebentar lagi anak perempuanku akan pulang. Dia telah menemukan jodohnya, seorang tukang ojek yang juga mempunyai sebuah gerobak untuk menjual gorengan. Anakku akan jadi orang, hidupnya akan lebih baik. Hari ini, pacarnya dan keluarganya akan datang untuk meminang. Istriku dari pagi berusaha untuk membuatku masuk. “Masuk dulu napa sih?! Ini buat anak elu. Nanti kalo keluarga pacarnya udah pulang, elu boleh duduk di situ lagi !” (Teriak istriku sambil berkacak pinggang di pintu rumah, dan setelah mendapati aku tetap berdiam keras kepala, dia masuk lagi.) “Atau pergi kemana dulu gih, ntar kalo mereka udah pulang, baru balik lagi.” (Kata anak laki-lakiku yang kedua dari dalam rumah sambil membaca koran.) Mereka tidak akan pernah mengerti. Tidak ada orang yang bisa mengerti. Kecuali anak perempuanku. Cuma dia yang memahami aku. Aku yakin dia tidak akan menyuruhku masuk. Aku yakin dia tidak akan malu. Sekarang jam 13.50, anak perempuanku akan pulang jam 14.00. Waktunya semakin dekat, sebentar lagi anak perempuanku akan datang. Aku tidak sabar untuk melihatnya. Dia tadi pergi ke salon, kunjungannya yang pertama. (Anak perempuanku muncul di sisi ujung lorong gelap rumah susun lantai tujuh.) Itu dia, ah dia caantik sekali. Jauh lebih cantik dari biasanya. Dia memang adikaryaku, yang paling memahami aku. Aku yakin dia tidak akan keberatan aku terus duduk di tikar ini. “Pak masih di sini aja? Mau bikin aku malu? Mau bikin calon mertuaku kabur?” (Kata anak perempuanku.) “Tu orang tua bisa dipaksa masuk nggak sih??” (Katanya lagi bernada jengkel sambil masuk rumah.)
Aku yakin dia begitu karena hari ini adalah hari terpenting dalam hidupnya. Aku tidak boleh egois. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Kalau aku masuk berarti aku kalah. Dan mereka menang. Apa yang harus aku lakukan? Apa? Badanku terasa lemah, aku tak sanggup lagi berjalan jauh. (Aku berjalan pelan menuju ujung terang lorong rumah susun lantai tujuh. Dari ujung lorong yang hanya dibatasi oleh pagar setinggi pinggang ini terlihat jelas pemandangan kota. Tidak seperti ujung lorong yang satunya –yang hanya berhenti di tembok tebal dengan tangga turun atau naik di sisi kanannya.) Kalau aku masih di sekitar sini, mereka akan melihatku. Dan anak perempuanku akan malu. Apa yang harus aku lakukan? Apa? Pembatas ini tidak terlalu tinggi, mungkin aku bisa memanjatnya. Badanku kini sangat ringan. Hap, kini aku sudah ada di atasnya. Satu ... Dua ... Tiga ... (sebelum aku mati, aku jatuh cinta pada alunan musik klasik dari molek tubuh cello yang terdengar asing namun indah itu) Segalanya terasa berhenti dalam gerakan lambat, Aku melayang, Mungkin karena badanku terlalu ringan. Apakah aku kalah? Apakah aku menang? Yang aku tahu tidak ada seorang pun yang akan kehilangan diriku. Yang aku tahu tidak akan ada yang sekedar mendongeng tentang apa yang pernah terjadi di rumah susun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar