14 February 2012, 7:00pm
Aku penghuni rumah susun lantai enam. Mia, gadis yang
tinggal persisi di sebelah dinding kamarku, mungkin dia tidak hanya mendengar
petikan gitarku, atau semua cerita-ceritaku. Juga semua nafsuku dan Renta dan
kata-kata hati kami. Mia benar-benar seorang gadis. Hobinya mengalunkan cello
dengan melodi klasik yang sebelumnya tidak pernah menggema di lorong rumah
susun ini. (Kontras sekali, ada alunan melodi klasik cello di rumah susun kumuh
ini. Musik yang bernilai seni tinggi mewarnai anak-anak rumah susun bermain
angklok, mengibas-ngibas jemuran yang digantung di teras dan jendela rumah
susun tanpa etika.) Pakaiannya bagus-bagus, kulitnya putih terawat. Mana ada
lelaki biasa yang tak ingin mengelusnya. Tapi Mia bukan gadis biasa. Dia
membawa angin berbeda ke dalam rumah susun ini. Bukan cinta. Bukan juga rindu.
Bukan juga keluguan yang nampak sekilas ketika pertama kali aku bertemu
dengannya. Entah apa. Yang jelas, semenjak kehadiran dirinya, kehidupan di
rumah susun ini tidak akan pernah menjadi seperti semula. Dan dia juga bukan
Renta –wanita yang hidup serumah denganku selama tiga tahun terakhir. Bukan,
dia bukan pacarku, apalagi istri. Aku dan Renta terikat oleh rasa, bukan oleh
cincin pernikahan atau janji-janji gombal ABG yang baru mengenal pacaran. Renta
sudah ada di sisi dinding yang satu lagi jauh sebelum ada nama Mia. Mungkin Mia
telah mengerti apa yang kutulis. Mungkin dia juga telah memberikan inspirasi.
Tapi dia tetap bukan Renta. Renta yang ketika ada memberi sakit kepala, tapi
ketika menghilang memberikan kekosongan di lorong rumah susun dan di dalam
dinding antara kamarku dengan kamar Mia.
ӁӁӁ
Aku seorang lelaki tua di lantai tujuh rumah susun.
Aku duduk di atas tikar, tikar yang sama yang telah kududuki selama lima tahun.
Di sini, di depan kamar rumah susunku. Bukan, bukan kamarku. Kalau aku mengakui
bahwa kamar ini adalah kamarku berarti aku kalah, dan mereka menang. Mereka
membakar rumahku lima tahun yang lalu, mereka mengambil tanah kami untuk
membangun rumah susun ini. Mereka tidak memberi ganti rugi, mereka hanya
memberiku sebuah kamar di lantai tujuh, yang tidak akan pernah bisa
menggantikan rumahku yang lama. Bukan karena rumahku yang dulu adalah rumah
yang besar, tapi aku membangunnya dengan tanganku sendiri. Adikaryaku,
satu-satunya adikarya yang pernah aku punya. Pernikahanku jelas sekali bukan
sebuah adikarya, istriku bodoh, aku bodoh. Kami bahkan tidak tahu bagaimana
caranya berkomunikasi. Kami tidak pernah bersekolah, mungkin karena itu. Ketiga
anakku juga bukan adikarya. Anak laki-lakiku yang paling besar kini menghilang.
Dia menikam orang sampai mati ketika berumur empat belas tahun, dan dipenjara.
Aku tidak tahu apa dia sudah dibebaskan atau belum. Anakku yang kedua, tinggal
di rumah, selalu di rumah, tidak pernah pergi ke luar atau melakukan apa-apa.
Dia tidak bekerja, tidak sekolah. Tidak ada satupun anakku yang pernah sekolah,
mungkin karena itu. Anakku yang ketiga, perempuan. Mungkin dia yang bisa dikata
mendekati sebuah adikarya. Senyumnya manis, kulitnya bersih, sekalipun tidak
pernah melakukan perawatan muka. Perawatan muka apa, keluargaku makan saja
sulit. Sebentar lagi anak perempuanku akan pulang. Dia telah menemukan
jodohnya, seorang tukang ojek yang juga mempunyai sebuah gerobak untuk menjual
gorengan. Anakku akan jadi orang, hidupnya akan lebih baik. Hari ini, pacarnya
dan keluarganya akan datang untuk meminang. Istriku dari pagi berusaha untuk
membuatku masuk. “Masuk dulu napa sih?! Ini buat anak elu. Nanti kalo keluarga
pacarnya udah pulang, elu boleh duduk di situ lagi !” (Teriak istriku sambil
berkacak pinggang di pintu rumah, dan setelah mendapati aku tetap berdiam keras
kepala, dia masuk lagi.) “Atau pergi kemana dulu gih, ntar kalo mereka udah
pulang, baru balik lagi.” (Kata anak laki-lakiku yang kedua dari dalam rumah
sambil membaca koran.) Mereka tidak akan pernah mengerti. Tidak ada orang yang
bisa mengerti. Kecuali anak perempuanku. Cuma dia yang memahami aku. Aku yakin
dia tidak akan menyuruhku masuk. Aku yakin dia tidak akan malu. Sekarang jam
13.50, anak perempuanku akan pulang jam 14.00. Waktunya semakin dekat, sebentar
lagi anak perempuanku akan datang. Aku tidak sabar untuk melihatnya. Dia tadi
pergi ke salon, kunjungannya yang pertama. (Anak perempuanku muncul di sisi
ujung lorong gelap rumah susun lantai tujuh.) Itu dia, ah dia caantik sekali.
Jauh lebih cantik dari biasanya. Dia memang adikaryaku, yang paling memahami
aku. Aku yakin dia tidak akan keberatan aku terus duduk di tikar ini. “Pak
masih di sini aja? Mau bikin aku malu? Mau bikin calon mertuaku kabur?” (Kata
anak perempuanku.) “Tu orang tua bisa dipaksa masuk nggak sih??” (Katanya lagi
bernada jengkel sambil masuk rumah.)
Aku yakin dia begitu karena hari ini adalah hari
terpenting dalam hidupnya. Aku tidak boleh egois. Aku harus melakukan sesuatu.
Tapi apa? Kalau aku masuk berarti aku kalah. Dan mereka menang. Apa yang harus
aku lakukan? Apa? Badanku terasa lemah, aku tak sanggup lagi berjalan jauh.
(Aku berjalan pelan menuju ujung terang lorong rumah susun lantai tujuh. Dari
ujung lorong yang hanya dibatasi oleh pagar setinggi pinggang ini terlihat jelas
pemandangan kota. Tidak seperti ujung lorong yang satunya –yang hanya berhenti
di tembok tebal dengan tangga turun atau naik di sisi kanannya.) Kalau aku
masih di sekitar sini, mereka akan melihatku. Dan anak perempuanku akan malu.
Apa yang harus aku lakukan? Apa? Pembatas ini tidak terlalu tinggi, mungkin aku
bisa memanjatnya. Badanku kini sangat ringan. Hap, kini aku sudah ada di
atasnya. Satu ... Dua ... Tiga ... (sebelum aku mati, aku jatuh cinta pada
alunan musik klasik dari molek tubuh cello yang terdengar asing namun indah
itu) Segalanya terasa berhenti dalam gerakan lambat, Aku melayang, Mungkin
karena badanku terlalu ringan. Apakah aku kalah? Apakah aku menang? Yang aku
tahu tidak ada seorang pun yang akan kehilangan diriku. Yang aku tahu tidak
akan ada yang sekedar mendongeng tentang apa yang pernah terjadi di rumah susun
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar