19 February 2011, 9:54am
Mbah Kung-ku mungkin termasuk salah satu manungsa Jawa
sing ngugemi budayanya. Mbah Kung-ku lahir dan dibesarkan di pelosok Ponorogo.
Dan katanya masih ada darah waroknya. Mungkin ini hanya cerita khayalan
mengenai mbah Kung-ku, karena suaranya yang keras dan omongannya yang ‘blaka
suta’ yang kadang digeneralisasikan dengan sikap para warok. Belum lagi kalau
mangkel, kata-kata yang dikeluarkan akan bikin merah telinga orang. Bukan
karena marah, tapi karena risih dan malu. "Edan mangan gamping
tenan". Atau "Wong kok isone mengingis, koyo bathang luwak". Ini
beberapa contohnya. Ada juga yang nyebut alat kelamin. Misalnya, "Nduwe
karep kok koyo konthol ditaleni" (maaf kalau saru. Tapi sebenarnya alat
kelamin bagi orang Jawa adalah berkenaan dengan konsep kesuburan. Mereka
memanggil anak perempuan "Bawuk" dan anak laki-laki
"Thole"). Begitulah mbah Kung-ku. Sedikit urakan kadang. Banyak yang
lainnya, tapi aku sudah lupa. Mbah Kung-ku sebagaimana orang Jawa kebanyakan,
ia juga percaya mistis dengan adanya lelembut, gendruwo, danyang dan lain-lain.
Roh-roh halus itu diperlakukannya dengan hormat tapi tanpa rasa takut. Karena
sewaktu musim nalo dan buntut, mbah Kung-ku juga rajin pergi nyepi di
tempat-tempat angker. Kalau ada berita bahwa tempat angker itu pernah memberi
orang nomer jitu, pasti ia datangi. Tapi pulangnya selalu dia ngedumel,
"Danyange minggat kabeh bareng tak tekani," katanya kecewa. Dia tidak
dapat peling nomer jitu sama sekali. Dan aku tahu bahwa mbah Kung-ku tidak pernah
menang buntut. "Ngramal" dia rajin, tapi selalu nihil hasilnya.
Sewaktu aku sunat, mbah Kung-ku yang ngeyel bikin slametan. Waktu itu aku duduk
di kelas 5 SD. Karena malu nanti bakalan dilihat banyak orang, aku nggak mau
ada slametan. Pokokke sunat saja. Ternyata masalah sunat buat mbah Kung-ku
bukanlah masalah sepele sebagaimana aku duga. "Wong ngetokke getih pisanan
kudu dislameti," begitu kata mbah Kung-ku. Aku cuma nggrundel saja. Aku
sunat di tempatnya pak Sukardi, dekat rumah. Banyak anak sunat di rumah pak Sukardi.
Aku berangkat jam 5.30 pagi dibonceng sepeda sama mbah Kung-ku. Banyak omongan
tetangga yang minir tentang sunatku. Katanya aku masih terlalu kecil untuk
disunat. Kalau terlalu kecil disunat nanti kunthet atau nggak bisa tumbuh
besar. Tapi mbah Kung-ku bilang, "Lha sing nduwe karep bocahe dhewe. Ya
ora isa dialang-alangi," katanya. Begitulah, mbah Kung-ku bersikeras
dengan pendapatnya. Sepertinya beliau lebih menghargai kemauanku daripada
omongan tetangga, meski aku masih kelas 5 SD. Dan mengambil resiko kemungkinan
bahwa aku nantinya akan kunthet beneran. Akhirnya aku disunat jam 6 pagi hari
itu. Pulangnya naik becak. Nggak terasa sakit. Maunya dibonceng mbah Kung saja,
tapi beliau ngeyel manggil becak. Sebagaimana anak kecil, nggak tahu masalah infeksi
dan efek lainnya sehabis operasi mikro itu. Habis sunat, meski malamnya
cenut-cenut tapi paginya sudah main-main. Pamer ke teman-teman sak dolanan.
Bangga juga ditanyai rame-rame, "Sakit nggak?". Tentu saja aku bilang
nggak sakit. Bahkan nantang teman sepermainan itu dengan lomba jauh-jauhan
kencing. Begitulah kami lalu berdiri di tengah jalan kampung yang waktu itu
masih tanah dan nampak lebar. Kami berdiri sejajar dan kecing sekuatnya agar
air jatuhnya bisa sejauh mungkin. Punyaku paling jauh. Tiga atau empat kali
lipat jauhnya. Teman-teman pada kagum. Aku sendiri juga bangga bahkan kagum
dengan barang baruku. Waktu itu aku tidak tahu bahwa sunat dulunya adalah
semacam inisialisasi tanda seseorang yang masuk akil balik, memasuki dunia
dewasa. Setelah sunat, perlakuan mbah Kung-ku berubah banyak. Kalau aku nakal
atau berbuat salah, beliau tidak main tangan lagi. Tapi lebih banyak main
mulut. Aku sempat bertanya-tanya kenapa mbah Kung-ku berubah sikapnya kepadaku.
Suatu saat ia bilang, "Kamu sudah sunat. Berarti sudah dewasa."
katanya dengan nada cukup serius. Dan sepertinya mbah Kung-ku tidak main-main
dengan ucapannya itu. Aku cuma ingat disamblek sandhal waktu hujan-hujan dan
pulang menjelang surup. Yang bagi orang Jawa, surup adalah waktu kritis dimana
para setan, lelembut dan roh-roh halus lainnya keluar bergentayangan. Cuma
sekali itu saja yang kuingat mbah Kung-ku main fisik. Setelah itu pakai
omongan. Kadang sampai berjam-jam kalau nuturi pakai omongan. Bokong terasa
panas juga. Bukan karena disamblek tapi kini karena duduk terlalu lama.
Ternyata keduanya sama menyiksanya. Hingga mbah Kung-ku meninggal saat aku SMA
kelas 2, beliau tidak pernah sesekali main fisik setelah aku sunat. Kini secara
diam-diam aku kagum dengan sikap beliau. Ngugemi budaya Jawa dengan konsisten.
Meski aku masih SD, beliau begitu percaya bahwa aku sudah masuk dunianya
manusia dewasa. Dan dengan hak-hak sebagai manusia dewasa pula. Dan itu karena
aku sendiri yang punya karep, karena aku pingin sunat meski masih SD. Jadi mbah
Kung-ku menghargai keputusanku. Dan aku diharapnya harus juga konsisten. Meski
masih berusia amat belia dan tidak tahu apa arti dunia dewasa, apalagi budaya
Jawa. Nampaknya aturan tetep aturan buat mbah Kung-ku. Harus tetep dipatuhi.
Tidak peduli apakah dia berhubungan dengan manusia yang sadar dan matang
emosinya atau dengan orang yang masih "blondho" macam saya waktu itu.
Sanksinya hanya pada diri sendiri. Bagiku, menghargai hak orang lain meski
orang itu tidak sadar akan hak-haknya adalah suatu pencerahan batin juga. Ini
yang kudapat dari sikap mbah Kung-ku. Meski beliau terkesan agak urakan, tapi
beliau tahu aturan, konsisten dan punya integritas diri. Semoga kini kau bisa
istirahat dengan tenang di alam sana, mbah Kung-ku tercinta. Aku akan bilang
terimakasih pada saatnya tiba nanti. Saat kita bisa ketemu di alam haribaan-Nya
kelak.
Ps Bacaan ringan buat mengisi waktu senggang akhir
pekan. Selamat menikmati waktunya di akhir pekan. Santai bersama teman-teman
atau pikinik bersama keluarga tercinta. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar