14 April 2011, 10:20am
"Coba uraikan letakmu pada garis pantai ini
..." Kataku. "Sederhana saja, letakku sedikit tak berjarak antara
ombak dan tepian yang bertemu danmelahirkan payau rindu di tenang muara
..." Jawabnya. Dari letaklaut selalu aku temukan salam dan pertemuan,
terlebih setelah sampan itu letih dan disauh dekat tepian. “Amboi, bidukmutan
kayuh dan baling-baling. Siapa lantas mengantar rinduku ke benua
seberang?”Tersebab laut ungu, aku angkat sauh, dan berlayar. Lerai angin dalam
suara gemeresak tengah malam buta, membanting surai suar, tangkai-tangkai
layar. Jangan tandai ini sebagai sangsi. Ingatlah laut nun di mata para lanun
dan cerita panjang kita, segera akan mencuat tanpa warna pucat, menjadi
petualangan kita yang penuh ombak rahasia. Siapa bersenda di ngarai laut saat
malam? Ombak, letak, atau kerlip kandil nelayan yang tabah merayu para ikan?
Bukan, bukan mereka. Hanya bujang kelasi tanpa tambatan, yang esok mati di luar
harapan. “Sedikit kusam, merah warna bunga euphorbia. Hey, siapa pula mati
tersia oleh kerap duri di tangkainya? Mungkin kumbang batu, serangga sasar dan
kupu-kupu, atau mungkin dirimu yang melulu dilulur rindu?” Katanya padaku.
Tentang letakmu yang terapit dipan dan lemari,
merenung sendiri, pada serpih bangkai kakerlak mati. Sebuah tidur telah
menemukan aku terbaring di baskom cuci piring yang airnya pekat berminyak.
Ketika suara luberan air dari bibir baskom itu terdengar olehku memercik di
lantai batu, aku tiba-tiba terjaga, dan lantang berteriak: "Kita
pastiakanbertemulagi !!!". Lantas aku melihat kau pun ngacir tanpa baju
dan celana (cuma berbebat kain putih bersih) menuju ke arah kampung sederhana
yang seluruh penduduknya adalah manusia dunia ketiga.
Ambilah di halaman belakang dengan naik egrang :
layang-layang yang tumbang akibat putus benang, barangkali kau masih punya sisa
nyawa untuk kau pinjamkan, biar kembali rangka rapuhnya merasai desir yang
mengancam, dan getas sayap kertasnya ...
Aku manusia tambal sulam, seperti waktu yang dicelup
dalam segelas air es... Aku seperti sebuah bilangan yang tak bisa dibagi satu,
namun tetap ingin menjadi dirinya sendiri yang utuh. Enam puluh detik adalah
satu menit yang terus berkembang membiakkan diri jadi jam-jam yang dungu.
Masihkah kau berkata, "Ada sirkus waktu yang selalu melingkungiku..."
Cukup aku menari-nari di antara lampu, kelokan, dan malamhari...
Aku terlampau inginmelihat bayangan diriku sendiri
lewat jernih mata orang yang paling kucintai, seperti bercermin. Tapi aku
akhirnya jatuh kagum pada "keindahan" mata orang itu sendiri. Walau,
kata orang, aku sangat jelek, buram, tak indah sama sekali. Tapi mata orang
yang kucintai yang paling indah, jernih permai, serupa lantai kaca istana Nabi
Sulaiman. Sambil bercermin kukatakan pada dia, “Bagaimana jika aku menatapmu
sambil tertidur. Tapi tenanglah, dirimu masih bergulir di kulit bola,
menggelinding kian kemari, mengendus arah, berkelok, lurus, rutin memantul dan
lembam menggila, hingga akhirnya sampai juga kau di tubir meja, dan ... ah, kau
tak jatuh jua ternyata, selalu mampu kau berkelit dari mimpi buruk yang lama
mengajak bercanda ...”
Sudah hampir perawan dalam rawan yang sepadan, tapi di
mana gerangan sepasang mata bola yang pernah Kau janjikan ...
Pantai Parang Kusuma, Gunung Kidul, 10 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar