Kamis, 18 Juni 2015

Mbah Kung vs Pak Dhe

21 Mei 2011, 12:17am


Pak Dhe-ku yang seorang tentara Angkatan Laut melangkah pergi menjauh dari rumah, sambil membawa tas ransel hijau tentaranya yang disampirkan sekenanya di sisi kiri pundaknya dan memegang perutnya. Sesekali Pak Dhe melihat ke belakang, pandangan matanya tajam melihat Mbah Kung-ku yang malangkerik di depan rumah, dengan wajah congkak yang seakan bilang ‘Nek wani mrenea maneh. Nek durung kapok tak ladeni tarung karo aku maneh kene.’ Ketika pandangan sengit keduanya bertemu, kilat seakan menyambar membelah langit sore itu. Nanti akan kuceritakan soal perseteruan antara Mbah Kung-ku dengan Pak Dhe-ku.
Mas Widada adalah kakak keponakanku. Ketika aku SD, dia sudah SMA. Suatu hari ada kenduri di rumah, Ibu memintanya menyembelih ayam. Sebenarnya Mas Widada tak berani tapi dia terpaksa mengiyakan karena saat itu sedang tak ada laki laki dewasa di rumah selain Mas Widada. Saat menyembelih ayam, Mas Widada tak berani melihat ayam, pandanganya dibuang ke belakang sambil merem tapi tangannya memegang pisau yang sudah ditodongkan di leher si ayam dan tangan satunya memegangkepala ayam, sementara seseorang yang memegang sayap dan kaki ayam bertugas mengomando apakah mata pisau sudah tepat mengenai urat leher ayam. “Wis pa durung? Kurang py?”Tanya Mas Widada. “Gulune pitik kurang ngetan sithik.”Jawab teman yang memegangi ayam. “Py? Wis pas?” “Sithik maneh. Hop !” Al hasil ketika ayam disembelih, bukan hanya urat leher bagian depan yang putus, tetapi seluruh leher melingkar terkena pisau hampir putus jika tak ada tulang leher penyangga kepala. Tak ada yang menyangka, tak ada yang menyana, setelah lulus SMA Mas Widada jadi tentara, seorang prajurit tamtama yang sangar. Dia terlibat dalam operasi seroja, pemberantasan pejuang separatis Timor Leste. Saat itu tak ada seorang bintara bahkan perwira yang berani menggunakan sejata pelontar peluru karena siapa saja yang memakai senjata itu bakal menjadi incaran musuh karena kekuatan senjata yang luar biasa. Mas Widada naik ke gelanggang perang melilitkan jarikyang biasa dipakai Ibunya tidur ke seluruh tubuhnya, lalu dengan gagah berani mengambil senjata pelontar peluru, sembari membabi buta menembaki pejuang pemberontak, Mas Widada berteriak hebat. “Mbookeeeeee… !!!” Hingga perang usai, dia masih selamat.
Kenduri adalah adat rutin yang tak bisa ditinggalkan di lingkungan keluargaku. Ada yang selalu kuperhatikan saat kenduri selalu ada jenang sengkala dari beras ketan berwarna merah dan putih. Ibu bilang kalau itu untuk menolak bala karena namanya sengakala, sangkal ala. Namun sebuah teori oleh Prof. Dr. Zoetmolder, Guru besar filsafat dan bahasa kuna mengatakan bahwawarna putih berarti darah yang dikeluarkan laki laki (sprema), warna merah berarti darah yang dikeluarkan wanita (saat datang bulan), jadi intinyajenang sengkala yang terbuat dari beras ketan berwarna merah dan putih melambangkan penghormatan kepada kedua orang tua yang telah menyatukan benih hingga menjadi seorang manusia. Itulah sekilas soal kenduri di rumahku. Biasanya setelah makanan yang disuguhkan kepada tamu sudah habis, giliran makanan yang disantap keluarga besar dihadirkan. Menu utamanya adalah ingkung atau ayam panggang.Sewaktu kecil, aku dilarang keras makan bagian brutu, pantat ayam. Kata Mbah Kung-ku, marai gampang lali nek mangan brutu. Secara otomatis pula, tiap anggota keluargamendapat bagian bagian ayam sesuai dengan usia. Bagi anak anak kecil seperti aku saat itu, mendapat bagian kepala atau dada atau leher. Pamrihe, ben dadi pemimpin sing manggon neng dhuwur kaya manggone ndhas pitik lan amba rejekine kaya ambane dhadha pitik. Bagi orang dewasa seperti Mas Widada atau Ibu, mendapat bagian ceker dan swiwi, sayap. Kata Mbah Kung-ku kita harus meneladani filosofi ayam sing senengane nyeker nyeker golek pakan, orang orang muda harus giat bekerja mencari rejeki. Juga mendapat bagian sayap yang kata Mbah Kung-ku biar karirnya melambung tinggikaya pithik lan manuk sing isa iber lumantar swiwi. Dan generasi cap orang tua macam Mbah Kung-ku mendapat bagian pupu lan brutu.Wong tuwa ki wayahe pensiun, kaya pitik nek wis nyeker, asile disimpen neng pupu, bar kuwi terus ngendhog liwat brutu. Setelah dewasa aku baru sadar bahwa kami telah dibohongi mentah mentah oleh Mbah Kung. Semua tipu muslihat pembagian ingkung itu tak lebih dari bagian konspirasinya agar beliau mendapatkan bagian pupu lan brutu. Orang orang tua seperti Mbah Kung-ku sudah tak kuat lagi giginya jika digunakan untuk memecah tulang, itulah mengapa beliau sebisa mungkin mengarang filosofi versinya sendiri agar mendapatkan bagian paha dan pantat karena bagian itu tak mengandung banyak tulang keras. Sungguh cerdik akal akalan Mbah Kung-ku. Selain ingkung, masing masing generasi di keluarga besar kami memiliki makanan favorit sendiri yang selalu disertakan saat menyantap ingkung. Bukan rahasia lagi, sejak kecil aku suka krupuk, makanya di rumahku selalu tersedia krupuk di meja makan. Hingga sekarang aku tak bisa meninggalkan ritual sakral menyantap krupuk saat makan, apapun makanannya tetap harus pake krupuk. Suatu saat aku diajak makan salah satu teman di KFC Malioboro, aku bingung setengah mati karena tak ada krupuk di KFC, akhirnya aku keluar sebentar dari restoran, mencari krupuk di warung angkringan di seberang jalan lalu masuk lagi ke restoran. Semua menatapku aneh, termasuk turis asing yang saat itu sedang berada di dalam restoran. Lain lagi dengan Ibu dan Bu Lik, mereka lebih suka menyantap sayuran. Kalau Mbah Kung-ku tak bisa lepas dari yang namanya sambel, sampai sampai beliau menanam sendiri lombok di tegalan etan omah agar bisa nyambel sesuka selera. Mungkin karena terlalu sering merasakan pedas, hingga berpengaruh pada tutur katanya yang pedes di telinga orang yang mendengar. ‘Madhang ora gawe sambel, rasane kaya ngising ora cawik.’ Kata Mbah Kung-ku sambil nguleg sambelnya sendiri di dapur. Jumlah lomboknya pasti lebih dari 20 biji. Suatu hari ada kenduri di rumah, kebetulan Pak Dhe-ku datang berkunjung. Seperti biasanya, kami makan bersama, lesehan di ruang tengah setelah para tamu pulang. Awalnya semua tampak biasa saja, Pak Dhe-ku duduk berhadap hadapan dengan Mbah Kung-ku. Mbah Kung mengambil 5 lombok sekaligus saat makan, sesaat kemudian, seperti tanpa dosa, Pak Dhe juga mengambil lombok sejumlah 7. Mbah Kung kaget, merasa harga dirinya jatuh karena ada yang berani makan lombok melebihi dirinya. Ora trima, Mbah Kung mengambil 10 lombok sekaligus. Pak Dhe merasa tertantang, dia ganti mengambil 12 lombok. Mbah Kung ambil 15, pak Dhe ambil 16. Mbah Kung ambil 18, Pak Dhe ambil lagi 20.Seterusnya, mereka saling bersalip salipan makan lombok dengan jumlah yang fantastis. Aura pertarungan 2 master lombok itu pun terasa sangat kuat. Sesekali mereka berhenti, saling memandang dengan tatapan sengit.Menyeka keringat sambil huhah huhah, lalu melanjutkan lagi pertarungan lombok. Hingga semua hidangan habis, tak terhitung lagi berapa lombok yang dihabiskan keduanya. Tak ketahuan siapa pemenangnya, tak ada medali, taruhannya adalah harga diri. Keesokan harinya, keduanya bergantian antri ke jamban kamar mandi. Tiap 10 menit sekali, secara berselang seling mereka menguras isi perut yang terbakar oleh lombok semalam. Mereka mencret.
Begitulah cerita tentang pertarungan dan awal perseteruan antara Pak Dhe dan Mbah Kung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar