21 Mei 2011, 12:17am
Pak Dhe-ku yang seorang tentara Angkatan Laut melangkah
pergi menjauh dari rumah, sambil membawa tas ransel hijau tentaranya yang
disampirkan sekenanya di sisi kiri pundaknya dan memegang perutnya. Sesekali
Pak Dhe melihat ke belakang, pandangan matanya tajam melihat Mbah Kung-ku yang
malangkerik di depan rumah, dengan wajah congkak yang seakan bilang ‘Nek wani
mrenea maneh. Nek durung kapok tak ladeni tarung karo aku maneh kene.’ Ketika
pandangan sengit keduanya bertemu, kilat seakan menyambar membelah langit sore
itu. Nanti akan kuceritakan soal perseteruan antara Mbah Kung-ku dengan Pak
Dhe-ku.
Mas Widada adalah kakak keponakanku. Ketika aku SD,
dia sudah SMA. Suatu hari ada kenduri di rumah, Ibu memintanya menyembelih
ayam. Sebenarnya Mas Widada tak berani tapi dia terpaksa mengiyakan karena saat
itu sedang tak ada laki laki dewasa di rumah selain Mas Widada. Saat
menyembelih ayam, Mas Widada tak berani melihat ayam, pandanganya dibuang ke
belakang sambil merem tapi tangannya memegang pisau yang sudah ditodongkan di
leher si ayam dan tangan satunya memegangkepala ayam, sementara seseorang yang
memegang sayap dan kaki ayam bertugas mengomando apakah mata pisau sudah tepat
mengenai urat leher ayam. “Wis pa durung? Kurang py?”Tanya Mas Widada. “Gulune
pitik kurang ngetan sithik.”Jawab teman yang memegangi ayam. “Py? Wis pas?”
“Sithik maneh. Hop !” Al hasil ketika ayam disembelih, bukan hanya urat leher
bagian depan yang putus, tetapi seluruh leher melingkar terkena pisau hampir
putus jika tak ada tulang leher penyangga kepala. Tak ada yang menyangka, tak
ada yang menyana, setelah lulus SMA Mas Widada jadi tentara, seorang prajurit
tamtama yang sangar. Dia terlibat dalam operasi seroja, pemberantasan pejuang
separatis Timor Leste. Saat itu tak ada seorang bintara bahkan perwira yang
berani menggunakan sejata pelontar peluru karena siapa saja yang memakai
senjata itu bakal menjadi incaran musuh karena kekuatan senjata yang luar
biasa. Mas Widada naik ke gelanggang perang melilitkan jarikyang biasa dipakai
Ibunya tidur ke seluruh tubuhnya, lalu dengan gagah berani mengambil senjata
pelontar peluru, sembari membabi buta menembaki pejuang pemberontak, Mas Widada
berteriak hebat. “Mbookeeeeee… !!!” Hingga perang usai, dia masih selamat.
Kenduri adalah adat rutin yang tak bisa ditinggalkan
di lingkungan keluargaku. Ada yang selalu kuperhatikan saat kenduri selalu ada
jenang sengkala dari beras ketan berwarna merah dan putih. Ibu bilang kalau itu
untuk menolak bala karena namanya sengakala, sangkal ala. Namun sebuah teori
oleh Prof. Dr. Zoetmolder, Guru besar filsafat dan bahasa kuna mengatakan
bahwawarna putih berarti darah yang dikeluarkan laki laki (sprema), warna merah
berarti darah yang dikeluarkan wanita (saat datang bulan), jadi intinyajenang
sengkala yang terbuat dari beras ketan berwarna merah dan putih melambangkan
penghormatan kepada kedua orang tua yang telah menyatukan benih hingga menjadi
seorang manusia. Itulah sekilas soal kenduri di rumahku. Biasanya setelah
makanan yang disuguhkan kepada tamu sudah habis, giliran makanan yang disantap
keluarga besar dihadirkan. Menu utamanya adalah ingkung atau ayam
panggang.Sewaktu kecil, aku dilarang keras makan bagian brutu, pantat ayam.
Kata Mbah Kung-ku, marai gampang lali nek mangan brutu. Secara otomatis pula,
tiap anggota keluargamendapat bagian bagian ayam sesuai dengan usia. Bagi anak
anak kecil seperti aku saat itu, mendapat bagian kepala atau dada atau leher.
Pamrihe, ben dadi pemimpin sing manggon neng dhuwur kaya manggone ndhas pitik
lan amba rejekine kaya ambane dhadha pitik. Bagi orang dewasa seperti Mas Widada
atau Ibu, mendapat bagian ceker dan swiwi, sayap. Kata Mbah Kung-ku kita harus
meneladani filosofi ayam sing senengane nyeker nyeker golek pakan, orang orang
muda harus giat bekerja mencari rejeki. Juga mendapat bagian sayap yang kata
Mbah Kung-ku biar karirnya melambung tinggikaya pithik lan manuk sing isa iber
lumantar swiwi. Dan generasi cap orang tua macam Mbah Kung-ku mendapat bagian
pupu lan brutu.Wong tuwa ki wayahe pensiun, kaya pitik nek wis nyeker, asile
disimpen neng pupu, bar kuwi terus ngendhog liwat brutu. Setelah dewasa aku
baru sadar bahwa kami telah dibohongi mentah mentah oleh Mbah Kung. Semua tipu
muslihat pembagian ingkung itu tak lebih dari bagian konspirasinya agar beliau
mendapatkan bagian pupu lan brutu. Orang orang tua seperti Mbah Kung-ku sudah
tak kuat lagi giginya jika digunakan untuk memecah tulang, itulah mengapa
beliau sebisa mungkin mengarang filosofi versinya sendiri agar mendapatkan
bagian paha dan pantat karena bagian itu tak mengandung banyak tulang keras.
Sungguh cerdik akal akalan Mbah Kung-ku. Selain ingkung, masing masing generasi
di keluarga besar kami memiliki makanan favorit sendiri yang selalu disertakan
saat menyantap ingkung. Bukan rahasia lagi, sejak kecil aku suka krupuk,
makanya di rumahku selalu tersedia krupuk di meja makan. Hingga sekarang aku
tak bisa meninggalkan ritual sakral menyantap krupuk saat makan, apapun
makanannya tetap harus pake krupuk. Suatu saat aku diajak makan salah satu
teman di KFC Malioboro, aku bingung setengah mati karena tak ada krupuk di KFC,
akhirnya aku keluar sebentar dari restoran, mencari krupuk di warung angkringan
di seberang jalan lalu masuk lagi ke restoran. Semua menatapku aneh, termasuk
turis asing yang saat itu sedang berada di dalam restoran. Lain lagi dengan Ibu
dan Bu Lik, mereka lebih suka menyantap sayuran. Kalau Mbah Kung-ku tak bisa
lepas dari yang namanya sambel, sampai sampai beliau menanam sendiri lombok di
tegalan etan omah agar bisa nyambel sesuka selera. Mungkin karena terlalu
sering merasakan pedas, hingga berpengaruh pada tutur katanya yang pedes di
telinga orang yang mendengar. ‘Madhang ora gawe sambel, rasane kaya ngising ora
cawik.’ Kata Mbah Kung-ku sambil nguleg sambelnya sendiri di dapur. Jumlah
lomboknya pasti lebih dari 20 biji. Suatu hari ada kenduri di rumah, kebetulan
Pak Dhe-ku datang berkunjung. Seperti biasanya, kami makan bersama, lesehan di
ruang tengah setelah para tamu pulang. Awalnya semua tampak biasa saja, Pak
Dhe-ku duduk berhadap hadapan dengan Mbah Kung-ku. Mbah Kung mengambil 5 lombok
sekaligus saat makan, sesaat kemudian, seperti tanpa dosa, Pak Dhe juga
mengambil lombok sejumlah 7. Mbah Kung kaget, merasa harga dirinya jatuh karena
ada yang berani makan lombok melebihi dirinya. Ora trima, Mbah Kung mengambil
10 lombok sekaligus. Pak Dhe merasa tertantang, dia ganti mengambil 12 lombok.
Mbah Kung ambil 15, pak Dhe ambil 16. Mbah Kung ambil 18, Pak Dhe ambil lagi
20.Seterusnya, mereka saling bersalip salipan makan lombok dengan jumlah yang
fantastis. Aura pertarungan 2 master lombok itu pun terasa sangat kuat.
Sesekali mereka berhenti, saling memandang dengan tatapan sengit.Menyeka
keringat sambil huhah huhah, lalu melanjutkan lagi pertarungan lombok. Hingga
semua hidangan habis, tak terhitung lagi berapa lombok yang dihabiskan keduanya.
Tak ketahuan siapa pemenangnya, tak ada medali, taruhannya adalah harga diri.
Keesokan harinya, keduanya bergantian antri ke jamban kamar mandi. Tiap 10
menit sekali, secara berselang seling mereka menguras isi perut yang terbakar
oleh lombok semalam. Mereka mencret.
Begitulah cerita tentang pertarungan dan awal
perseteruan antara Pak Dhe dan Mbah Kung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar