Kamis, 18 Juni 2015

Tanpa Judul


15 April 2011, 11:06am

Ada yang tidur dan membawaku lari ke kolong mimpi, sembunyi dari kejaran raksasa bermata sebesar buah semangka berjumlah dua juta. Diam-diam datang si bocah bengal yang suka melempari mimpiku dengan ayam goreng mc.donald's dan kentucky.Aku mendengar sabda si bocah bengal, “Jangan menunggu dungu selagi dua sisi telingamumasih di situ, ikutlah pesta tengah malam di tengah hutan hujan. Barangkalidendangku masih gemetar sampai pagi, tapi dua lubang gigitan macandi punggungku ini, sungguh membuat kau ngeri tak terperi. Amboi,kalaulah memang datang si mati memagutmu, itu cuma soal waktu, cuma soal teka-teki yang menyilang dan tanpa rambu. Sudah jam setengah satu lewat beberapa menit. Kalau memang sudah saatnya mati, ya silakan mati. Paling - paling ketika nyawa dicabut, rasanya seperti digigit semut. Toh, inikan euthanasia cuma - cuma. Belum juga selesai mandi meski siulnya habis dihisap sunyi dinihari ...”
Ada surat yang turun dari langit bermendung tipis.Kecipak kecil setelah seekor cicak jatuh ke dalam gelas -- pyuk! “Ssstt, dengarlah, jangan-jangan yang menyusul adalah kamu yang jatuh ke lautan sepi. Tapi tenang saja,lima jengkal dari sunyimu ada pasar malam yang tak pernah memadamkan lampu, namun kau tetap bergeming, diam dan padat, seakan enggan dan tak tersentuh beragam ibarat. Dua belas badut tidur di terungmu, dua belas siul punai tak terdengar, hujan seperti biasa : enggan membilas cuaca panas jam dua belas, lantas apa yang kita cari selepas dua belas ranting ranggas di tengah hari? Enigma. Lekas naiklah ke genting rumah, ayo naiklah ke genting rumah, barangkali sempat ia jatuhkan setetes darah sebelum naik ke surga. Kini engkaulah yang terbaik, wahai harimau bertaring lipstik !!! Perasaanmu sehalus biji kedondong ... Kau cuma orang yang pandai bersedih dan mahir menirukan bunyi gesekan air mata dengan licin pipi saat melihat kereta tanpa kuda, berjalan, beriring-iringan, di dalamnya terbaring sunyi seonggok jenazah yang tak sempat dinamai. Ah, malang nian. Ada sesuatu yang hendak berlari menyusul ekor hujan yang berputar - putar di tanah lapang dekat pemakaman ...”
‘Hey si bocah bengal !!! Antara tugu dan bulaksumur, oh kucari cekung jejakmu yang tak terukur oleh kata tukang rujak buah. Aku mendatangimu hari ini untuk melunasi hutangku 1000 tahun yang akan datang, jadi jangan menunggu lagi, apalagi di Minggu pagi semacam ini. Sedikit sekali perihal ponimu yang aku tahu. Andai memang benar, ia tak ubahnya rericik air tinggalan hujan yang terpelanting ke bibir genting, lalu luruh bersamaan. Mencarimu di rimbun rumah suara dan rimba hutan baja. Amboi, aku hanya sehelai serat jerami tertimbun di unggun tumpukan peniti ...’
Di Minggu putih, ada lekuk ranting yang sesaat lena oleh hujan pagi hari. Tapi rembang halimun selalu tertahan jauh di selatan, tak sampai kemari. Apakah kita ingin memandangnya berlama-lama, juga menunggu puisi itu, sayangku? Sementara esok pagi, mungkin seorang lelaki akan diculik, diarak ke alun-alun dalam salak cambuk yang beruntun galak, ditoreh nadi-nadi bawah kulitnya, hingga buliran darah berduyun turun. Lelaki bengong ngelihat satu biji matanya terapung-apung di bak mandi seperti segaris sungai yang mencari letak air dan terlalu fasih membahasakan kemarau panjang, seperti engkau yang tak pernah ada dalam riam penghujan.
Karena ini maklumat buat kamu yang suka pergi piknik di suatu Minggu pagi, membawa keranjang rotan sarat berisi mainan, kue kudapan, air jeruk limau, juga sebaris kalimat perintah dari Ibu yang rajin berpesan: "Jangan nakal dan jangan ganggu tukang kebun yang tidur kepayahan", aku cuma ingin kabarkan pada kalian, bahwa selubung kabut memekat, mengirim tangis tak terlalu kuat. Selepas turun hujan perlahan dari jenjang puri penyimpan dongeng seribu peri, lantas mereka menyeka peluh pohon yang disangka airmata. Padahal, mereka pun hafal di luar kepala, bahwa seluruh kisah sedih dan duka, habis dikemas para puan yang menjanda sebelum pinangan tiba.
Masih saja, aku ingin membuat sebuah rumah mewah dari dua belas batang korek api, aku selalu ingin membuat api unggun sehabis hujan berhenti, seperti kebahagiaan yang tak lebih dari sekumpulan becak bobrok yang mangkal di penjuru senyum. 5000 detik lemparan batu dari tepi kali, diiringi seorang juragan yang pergi dengan kopor kosong tanpa isi, lalu berkubanglah selai kacang, sirup, dan remah biskuit akhir Bulan ini. Bola matahari mengisi stoples senja hari, menyendiri, tapi utuh, laiknya sebutir permen karet ungu yang merindu bahang lidahku.
Demi sebuah kehilangan, manusia ini benar-benar dilahirkan dan ia nyata ada ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar