Kamis, 18 Juni 2015

SEPOTONG IMAN TAK BERNISAN, JALAN JALANG KETUHANAN & DEKONSTRUKSI SANTRI BRAI

7 February 2012, 10:42pm 


Sumendhea sedhela coba padha waspadakna ana waspa angriris bantala binarung jerit kang sora ludira memaya tlaga kaya-kaya nyawa wus koncatan rega ing tlatah kulon pulo Jawa Darunane? ana manungsa kang jarene sarwa seta panganggone rumasa suci dhewe rumasa bener dhewe rumasa lanang dhewe nggawa penthung lan bendho gedhe nggelar sesawangan sate bangke
Nyai, apakah kau pernah mengatakan ‘ya’ untuk kesenangan? Kemudian kau juga menjawab ‘ya’ untuk semua sakit, semua hal-hal terkait, terjalin, jatuh cinta dengan satu sama lain.
Kita hidup di sepotong zaman dimana agama tak lagi menjadi perkara rasa, nyai. Tak sebagaimana mestinya, kini beragama hanyalah masalah menyesuaikan diri dengan selera mereka yang berkuasa.
Aku mendengar kabar, bahwa guru dan sahabat kita—yang kita tahu sangat teguh dalam memegang prinsip tak (boleh) ada p(em)aksaan dalam (ber)agama itu—telah mati. Kepalanya dipenggal. Dan, sesaat seusai dikubur, jasadnya berubah menjadi seonggok bangkai anjing kudisan. Lalu, mereka yang berkuasa itu, menggantungnya di perempatan jalan dengan menyertakan sebaris tulisan pada sepotong papan: “Inilah akibat orang yang sesat dan menyesatkan.”
Tetapi, nyai, apa sebenarnya hak kita memvonis sebuah keyakinan sebagai sesat dan menyesatkan? Aku kira dalam hal ini tak seorang pun memiliki hak itu. Sebab, keyakinan—sekali lagi—adalah urusan rasa. Dan setahuku, rasa itu sesuatu yang tak mudah dijelaskan, bersifat sangat pribadi: dalam segala hal adalah aku, milikku, dan urusanku. Dengan demikian, bukankah menjadi lucu sekaligus dungu apabila kita menghakimi sesuatu yang tak gampang dijelaskan?
Itulah tepatnya, nyai, prinsip yang diperjuangkan oleh mendiang guru dan sahabat kita—yang sejatinya hanyalah ungkapan lain dari pesan agama itu sendiri: tak (boleh) ada p(em)aksaan dalam (ber)agama.
Logika semacam ini tentu saja tak mungkin bersarang dalam nalar mereka yang berkuasa, nyai. Bagi mereka, persoalannya sederhana saja: “Rasa itu gila. Dapat menggiring pada sesuatu yang merdeka dan beda—dapat merongrong kuasa. Karena itu, ia berbahaya. Sekarang tinggal pilih: tunduk atau tersisih.”
Pilihan pertama, jika ingin selamat, berarti kita harus menyeragamkan diri dengan mereka, dengan mengorbankan keotentikan iman kita. Dan ini artinya, menjadi orang munafik. Adapun pilihan kedua, jika tetap ingin berbeda, kita mesti menyisih dari dunia yang tengah dikuasai mereka, sekali dan untuk selamanya.
Dan aku pun telah memilih, nyai. Aku akan menyisih, dengan menyerahkan raga ini kepada mereka secara cuma-cuma. Terserah pada akhirnya mereka mau menyembelih atau merajamnya, aku tak peduli. Setidaknya, aku tetap menjadi diriku sendiri: dalam segala hal adalah aku, milikku, dan urusanku.
Suamimu yang jalang,
Mati itu sebuah keniscayaan, bagian dari kehendak dan kuasa tuhan, begitulah kata orang kebanyakan, namun aku bukan orang kebanyakan. Aku orang kerasukan yang hidup dengan gagasan sungsang: apabila benar bahwa kematian itu bagian dari kuasa tuhan, maka bunuh diri adalah laku penyangkalan dan pembangkangan terhadap tuhan. Dengan menghendaki kematianku sendiri maka aku pun telah menyangkal kemaha-kuasaan tuhan, dengan membunuh diriku sendiri maka aku pun telah membunuh tuhan.
Oleh karena hidup itu absurd, maka persoalan mendasar filsafat adalah apakah pada akhirnya hidup itu menjadi layak untuk ditolak dengan jalan bunuh diri, begitulah engkau mengawali telaah eksistensialmu yang muram itu, dan secara teoritis engkau lebih memilih untuk menghadapi, bukan dengan jalan berserah diri kepada tuhan yang suci, perigi segala nilai dan arti, tetapi dengan jalan pemberontakan dalam diam, persis sisyphus, si makhluk terkutuk yang justru berbangga diri. Dan apapun pilihan sikapmu atas absurditas itu, engkau tetap mati dengan cara yang nyeri, (bunuh diri?) sebab sisyphus, pada akhirnya juga, hanyalah sepotong mimpi, yang tetap rentan terhadap nyeri kehidupan.
Hidup sebagai sosok tertolak dengan segugus gagasan yang retak, tulisan yang tak utuh dan tubuh yang rapuh tak membuat nyalimu kecut ‘tuk menjadi seorang estetikus marxis, tetapi pada malam yang sunyi itu, engkau mulai muak dengan semua mimpi yang tak terbeli, engkau pun bunuh diri, dengan melahap habis morfin yang selama ini menjadikanmu percaya diri.
Pagi hari, 4 november 1995, aku seorang Nietzschean yang begitu menghargai kehidupan dikabarkan membuat sebuah pertunjukan filosofis yang mencengangkan, atau dalam istilah teknisnya sendiri: ‘peristiwa’. Di lantai tiga apartemenku, perlahan aku membuka jendela, bukan untuk menyambut sang surya, tetapi untuk melemparkan tubuhku sendiri, bunuh diri. Rekan sezamanku pun banyak yang tak mengerti, mereka seperti disuguhi sebuah kontradiksi, semacam pengkhianatan atas semangat Nietzschean, benarkah demikian? Nietzsche pernah menyeru, bahwa berfilsafat adalah melempar dadu, pada aras inilah kematian sang skizoanalis dapat dimaknai, bahwa aku sedang melempar dadu, dimana dadunya adalah tubuhku sendiri.
Bli, tubuhmu boleh pergi, tetapi tidak untuk jiwamu yang akan terus bernyanyi dan menari, selama langit meludahi bumi, nabi-nabi membungkam nurani, baladamu ‘kan jadi api. Tak ada surga juga tak apa, kau sudah terbiasa dengan segala siksa dan derita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar