7 February 2012, 10:42pm
Sumendhea sedhela coba padha waspadakna ana waspa
angriris bantala binarung jerit kang sora ludira memaya tlaga kaya-kaya nyawa
wus koncatan rega ing tlatah kulon pulo Jawa Darunane? ana manungsa kang jarene
sarwa seta panganggone rumasa suci dhewe rumasa bener dhewe rumasa lanang dhewe
nggawa penthung lan bendho gedhe nggelar sesawangan sate bangke
Nyai, apakah kau pernah mengatakan ‘ya’ untuk
kesenangan? Kemudian kau juga menjawab ‘ya’ untuk semua sakit, semua hal-hal
terkait, terjalin, jatuh cinta dengan satu sama lain.
Kita hidup di sepotong zaman dimana agama tak lagi
menjadi perkara rasa, nyai. Tak sebagaimana mestinya, kini beragama hanyalah
masalah menyesuaikan diri dengan selera mereka yang berkuasa.
Aku mendengar kabar, bahwa guru dan sahabat kita—yang
kita tahu sangat teguh dalam memegang prinsip tak (boleh) ada p(em)aksaan dalam
(ber)agama itu—telah mati. Kepalanya dipenggal. Dan, sesaat seusai dikubur,
jasadnya berubah menjadi seonggok bangkai anjing kudisan. Lalu, mereka yang
berkuasa itu, menggantungnya di perempatan jalan dengan menyertakan sebaris
tulisan pada sepotong papan: “Inilah akibat orang yang sesat dan menyesatkan.”
Tetapi, nyai, apa sebenarnya hak kita memvonis sebuah
keyakinan sebagai sesat dan menyesatkan? Aku kira dalam hal ini tak seorang pun
memiliki hak itu. Sebab, keyakinan—sekali lagi—adalah urusan rasa. Dan
setahuku, rasa itu sesuatu yang tak mudah dijelaskan, bersifat sangat pribadi:
dalam segala hal adalah aku, milikku, dan urusanku. Dengan demikian, bukankah
menjadi lucu sekaligus dungu apabila kita menghakimi sesuatu yang tak gampang
dijelaskan?
Itulah tepatnya, nyai, prinsip yang diperjuangkan oleh
mendiang guru dan sahabat kita—yang sejatinya hanyalah ungkapan lain dari pesan
agama itu sendiri: tak (boleh) ada p(em)aksaan dalam (ber)agama.
Logika semacam ini tentu saja tak mungkin bersarang
dalam nalar mereka yang berkuasa, nyai. Bagi mereka, persoalannya sederhana
saja: “Rasa itu gila. Dapat menggiring pada sesuatu yang merdeka dan beda—dapat
merongrong kuasa. Karena itu, ia berbahaya. Sekarang tinggal pilih: tunduk atau
tersisih.”
Pilihan pertama, jika ingin selamat, berarti kita
harus menyeragamkan diri dengan mereka, dengan mengorbankan keotentikan iman
kita. Dan ini artinya, menjadi orang munafik. Adapun pilihan kedua, jika tetap
ingin berbeda, kita mesti menyisih dari dunia yang tengah dikuasai mereka,
sekali dan untuk selamanya.
Dan aku pun telah memilih, nyai. Aku akan menyisih,
dengan menyerahkan raga ini kepada mereka secara cuma-cuma. Terserah pada
akhirnya mereka mau menyembelih atau merajamnya, aku tak peduli. Setidaknya,
aku tetap menjadi diriku sendiri: dalam segala hal adalah aku, milikku, dan
urusanku.
Suamimu yang jalang,
Mati itu sebuah keniscayaan, bagian dari kehendak dan
kuasa tuhan, begitulah kata orang kebanyakan, namun aku bukan orang kebanyakan.
Aku orang kerasukan yang hidup dengan gagasan sungsang: apabila benar bahwa
kematian itu bagian dari kuasa tuhan, maka bunuh diri adalah laku penyangkalan
dan pembangkangan terhadap tuhan. Dengan menghendaki kematianku sendiri maka
aku pun telah menyangkal kemaha-kuasaan tuhan, dengan membunuh diriku sendiri
maka aku pun telah membunuh tuhan.
Oleh karena hidup itu absurd, maka persoalan mendasar
filsafat adalah apakah pada akhirnya hidup itu menjadi layak untuk ditolak
dengan jalan bunuh diri, begitulah engkau mengawali telaah eksistensialmu yang
muram itu, dan secara teoritis engkau lebih memilih untuk menghadapi, bukan
dengan jalan berserah diri kepada tuhan yang suci, perigi segala nilai dan
arti, tetapi dengan jalan pemberontakan dalam diam, persis sisyphus, si makhluk
terkutuk yang justru berbangga diri. Dan apapun pilihan sikapmu atas absurditas
itu, engkau tetap mati dengan cara yang nyeri, (bunuh diri?) sebab sisyphus,
pada akhirnya juga, hanyalah sepotong mimpi, yang tetap rentan terhadap nyeri
kehidupan.
Hidup sebagai sosok tertolak dengan segugus gagasan
yang retak, tulisan yang tak utuh dan tubuh yang rapuh tak membuat nyalimu
kecut ‘tuk menjadi seorang estetikus marxis, tetapi pada malam yang sunyi itu,
engkau mulai muak dengan semua mimpi yang tak terbeli, engkau pun bunuh diri,
dengan melahap habis morfin yang selama ini menjadikanmu percaya diri.
Pagi hari, 4 november 1995, aku seorang Nietzschean
yang begitu menghargai kehidupan dikabarkan membuat sebuah pertunjukan
filosofis yang mencengangkan, atau dalam istilah teknisnya sendiri:
‘peristiwa’. Di lantai tiga apartemenku, perlahan aku membuka jendela, bukan
untuk menyambut sang surya, tetapi untuk melemparkan tubuhku sendiri, bunuh
diri. Rekan sezamanku pun banyak yang tak mengerti, mereka seperti disuguhi
sebuah kontradiksi, semacam pengkhianatan atas semangat Nietzschean, benarkah
demikian? Nietzsche pernah menyeru, bahwa berfilsafat adalah melempar dadu,
pada aras inilah kematian sang skizoanalis dapat dimaknai, bahwa aku sedang
melempar dadu, dimana dadunya adalah tubuhku sendiri.
Bli, tubuhmu boleh pergi, tetapi tidak untuk jiwamu
yang akan terus bernyanyi dan menari, selama langit meludahi bumi, nabi-nabi
membungkam nurani, baladamu ‘kan jadi api. Tak ada surga juga tak apa, kau
sudah terbiasa dengan segala siksa dan derita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar