OBSESIF
KOMPULSIF
Jogjakarta, 13 Mei 2012 jam 01.00
Sang penunggang kuda yang megah,
matahari melesat ke dalam
gelanggang yang sangat luas di mana roda langit berputar. Lawannya yang
berjubah perah, bintang-bintang,
memucat dan segera mundur tergesa-gesa
ke arah barat.
Air muka sang penakluk, yang
bersinar-sinar terlalu menakutkan bagi cawan kristal malam, yang kemudian
bergetar hingga pecah,
menumpahkan anggurnya hingga
mengubah langit
menjadi lembayung dari ufuk ke
ufuk.
Dengan demikian datanglah sang
fajar.
Aku sedang duduk sendirian,
menabuh syair-syair pujian pada
genderang kesepian.
Aku orang asing bagi
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia manusia.
Ini adalah sehelai kertas
kesedihan,
yang dikirim oleh jiwa yang
dipenuhi duka cita kepada jiwa yang lainnya.
Ia datang dariku, seorang tawanan,
dan ditujukan kepadamu,
kau yang telah berhasil
menghancurkan belenggumu dan meraih kemerdekaan.
Berapa lama kata-kata ini
tersembunyi dalam hati,
terpelihara oleh cinta dan
kepedihan serta duka akibat perpisahan.
Kini aku tengah mengarungi
kedalaman jiwaku bagaikan seorang penyelam,
memetik mutiara demi mutiara yang
teruntai menjadi sebuah kalung berbentuk surat dan kata-kata, titik dan
bulatan, hiasan dan anyaman.
Kau
memesonaku seperti seorang perawan
yang
menghiasi dinding perasaan
dengan
sutera dan anyaman,
kini
kau sedang membakar dupa dalam mangkuk kuningan,
aroma
kayu manis memenuhi ruangan.
Saat
api cinta menyala di dalam dada,
apalagi
yang bisa dilakukan untuk menjinakkannya?
Cinta
telah membuat tempurung kewarasan menjadi retak,
lalu
menunjukkan kekakutan jiwa yang tersembunyi di dalamnya.
Aku
bagai serangga sasar yang terbang
menembus
kegelapan malam untuk mengintari nyala lilin.
Hatiku
berdebar seperti sayap ngengat yang terperangkap.
Memandangi
wajahmu,
untuk
sedetik yang terasa bagai sebuah keabadian.
Cinta
telah membuat gairah hidup menjadi padam,
seakan
sendi-sendi tulang remuk, sayap jiwa telah patah,
menggelepar
tak berdaya dalam kubangan debu, menanti datangnya ajal.
Aku
orang gila yang menjual jiwaku pada cinta,
namun
anggur cinta yang kutuang berbalas siksa,
sama
dengan pahitnya kayu kina.
Ketika
tamanmu sedang berbunga,
aku
terbaring di luar sana menderita.
Bagaimana
mungkin engkau tersenyum tertawa,
sementara
aku tersiksa oleh cinta.
Duka
di hatiku tak kau hiraukan,
tangis
di mataku tak kau pedulikan,
dan
banyak janji yang kau ucapkan,
tapi
tak satupun kau tunaikan.
Kau
bersumpah membuat dahagaku terpuaskan,
semua
sumpahmu kini kau campakkan.
Mengapa
sumurmu dulu kau kau tampakkan,
jika
isinya hanya kutukan?
Keluarkan
aku dari sumur kesepian ini,
karena
cahaya hidupku pudar dalam belantara ini.
‘Jangan
takut, karena aku adalah milikmu!’ kau berkata,
bila
itu benar, datanglah sekarang,
atau
mereka akan menemukanku tak bernyawa.
Sekali
tertangkap, kambing yang sekarat mendengar terlambat
teriakan
‘Awas srigala !’ yang akan membuatnya selamat.
Kau
penyebab sekaratku berkepanjangan,
tetapi
hasratku padamu membuat kau kumaafkan.
Kaulah
sang matahari sementara aku bintang malam,
cahyamu
menyurutkan kerlipku yang kelam.
Nyala
lilin iri padamu,
bunga
mawar merekah dalam namamu,
terpisah
darimu? Tidak akan pernah!
cinta
dan kesetiaanku hanya untukmu.
Walau
tersiksa, aku akan tetap menjadi sasaran cambukmu,
ketika
mati, aku adalah darah yang mengalir dalam nadimu.
Sebagai
seorang yang darahnya adalah milikmu
untuk
kau jual semurah yang kau kehendaki.
Kau
berkata bahwa aku adalah penjaga harta,
memang
aku ada di dekatnya,
namun
di saat yang bersamaan aku tidak pernah sejauh ini darinya.
Kunci
yang dengannya aku bisa membuka peti harta itu belum diciptakan.
Logam
yang darinya kunci itu akan ditempa masih tertidur di dalam perut bebatuan.
Kau
adalah Ka’bahku, padamu kukiblatkan sembahku,
tapi
apa artiku bagimu?
Aku
adalah tanah di bawah kakimu: jika kau melangkah lembut,
aku
akan menjadi humus di musim semi yang indah dan menumbuhkan bunga-bunga.
Tapi
jika kau menginjakku dengan keras,
aku
akan menjadi awan debu yang berputar,
yang
membungkus dan mencekikmu!
Jangan
kau potong hidungmu karena iri dengan wajahmu sendiri.
Bukankah
kau telah memahat namaku di atas bongkahan es agar meleleh di bawah matahari,
kau orang yang telah menuntunku ke dalam nyala api.
Orang-orang
yang menggali bumi dan mencari harta,
hanya
untuk mendapati bahwa bumi tak akan menyerahkannya.
Bukankah
selalu begitu kejadiannya sejak dulu?
Sementara
burung bul-bul mengicaukan puji-pujiannya pada pohon ara,
sang
gagak malah mencuri buahnya.
Seperti
itulah jalannya takdir.
Kau
adalah rembulan dengan segala keindahannya.
Kapankah,
duhai rembulan, engkau terlepas dari rahang sang ular?
Hatiku
adalah tungku yang suluhnya adalah cinta.
Jika
engkau menyalakan api itu,
panas
dari hatiku akan membakarnya dalam seketika.
Bilamana
taman merekah oleh mawar-mawar merah
betapa
cocoknya menyandingkannya dengan anggur delima.
Aku
heran, untuk siapa mawar mengoyak pakaiannya?
Bukankah
mangsa yang malang menjerit akan ketidakadilan?
Lalu
mengapa meributkan halilintar?
Jika
korbannya adalah aku!
Bagaikan
tetes hujan di saat matahari terbit
yang
jatuh menetes pada kelopak melati,
pada
pipi sang kekasih, airmataku bercucuran.
Tulip
yang memerah di seluruh daratan bagaikan batu delima.
Pencuri
mana yang telah merampas intan milikku?
Pepohonan
menebar wanginya dalam aroma bunga,
hingga
aroma khotan tak bisa bernafas dalam kekaguman.
Katakan
padaku manisku, bagaimana keadaanmu di kegelapan sana?
Apa
yang telah terjadi pada kecantikanmu sekarang?
Lesung
pipimu, matamu yang bercahaya,
harum
semerbak ikal rambutmu yang sehitam malam.
Apa
yang terjadi pada mereka?
Apa
warna pakaianmu sekarang?
Mata
siapa yang kau sinari sekarang
dan
pikiran siapa yang kau pesonakan dengan sihir senyumanmu?
Di
tepi sungai mana yang kini kau perindah?
Ranjang
duri siapa yang kau ubah menjadi hamparan mawar?
Hingga
akhirnya aku memilih masuk ke dalam golongan
orang-orang
jalang yang telah dipenggal oleh pedang ajal,
sebuah
pedang yang sedang bergantung di atasku juga.
Engkau
mutiara yang menyiksa sang tiram.
Manusia tak lebih dari seberkas
cahaya,
terlahir untuk bersinar dalam
suatu masa yang singkat
sebelum akhirnya padam untuk
selamanya.
Apakah kehidupan manusia itu
selain dari sebuah kilatan halilintar di dalam kegelapan?
Ia tidak berarti apa-apa: bahkan
jika ia bertahan ribuan tahun,
dibandingkan dengan keabadian, ia
tidak lebih dari sebuah kedipan mata.
Dari awal, kehidupan memikul
segel kematian :
kehidupan dan kematian saling
melekat bagaikan sepasang pencinta,
lebih dekat dari sepasang bayi
kembar yang lahir dengan badan terhimpit.
Namun bagai sebutir pasir yang
menilai diri berdasarkan ukurannya sendiri,
mengambil panjang dan lebar
dirinya sebagai satu-satunya ukuran untuk dunia.
Padahal di seberang gunung, ia
bukan apa-apa.
Manusia hanya sebutir pasir,
seorang tawanan di dalam sebuah
dunia yang penuh dengan ilusi.
Belajarlah bahwa kenyataan adalah
sama sekali tidak nyata
dan bahwa kenyataan adalah sesuatu
yang sama sekali berbeda.
Jadilah seperti lilin dan bakarlah
duniamu –hanya dengan itu,
dunia yang sekarang adalah
penguasamu akan menjadi budakmu.
Rembulan tampak bagaikan sebuah
bola perak yang bercahaya,
sementara di kaki langit, Venus
berpijar seperti lahar,
meteor jatuh ke bumi bagaikan
lembing menyala-nyala
yang dilemparkan dari langit,
bintang berkelip-kelip bagai
ribuan manik-manik
yang telah dipintal di atas jubah lembayung langit.
Ketika jutaan jarum hujan
menelisik kain malam,
kubenamkan wajahku ke dalam tanah
tempat aku dan kekasihku terbaring
menanti ketika nanti ditanyai
oleh para malaikat di hari kiamat.
Sepasang
kekasih terbaring dalam kesunyian,
disandingkan
di dalam rahim gelap kematian.