Sabtu, 28 Februari 2015

Tanah Porodisa


Lain ladang lain belalang.
Lain lubuk lain ikannya.
 
Pepatah ini mengandung arti bahwasanya setiap tempat memiliki karakteristik lingkungan alam yang khas. Demikian pula setiap suku bangsa yang menempati suatu daerah, mereka memiliki budaya dengan keunikan masing-masing. “Talaud”, kata ini terdengar cukup asing pada awalnya. Talaud adalah sebuah kabupaten kepulauan di ujung utara Indonesia. Di bagian Utara berbatasan dengan Negara Filipina, bagian Selatan adalah laut Maluku, bagian Barat adalah laut Sulawesi, dan bagian Timur adalah Samudera Pasifik.


Saya adalah seorang gadis 24 tahun asal kota Gadis yaitu Madiun. Dua tahun yang lalu saya baru saja menyelesaikan pendidikan Sarjana Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Surabaya, orang biasa menyebutnya UNESA. Nama saya sangat singkat, MURNI. Namun setelah lulus dari UNESA nama saya menjadi sedikit lebih panjang, MURNI, S.Pd.. Ya, karena saya adalah lulusan dari universitas keguruan, otomatis nama saya mendapat embel-embel gelar S.Pd.. Satu tahun yang lalu dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk mengikuti program SM-3T yaitu program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) melalui seluruh universitas negeri keguruan di Indonesia, salah satunya adalah Universitas Negeri Surabaya. Awalnya cukup khawatir akan tugas penempatan di luar pulau Jawa, karena saat mendaftar belum diumumkan akan ditempatkan di mana. Namun dengan tekad yang bulat dengan bekal keyakinan bahwa peserta SM-3T angkatan sebelumnya saja bisa, kenapa saya tidak, akhirnya saya berangkat.   

Tak pernah bermimpi dan membayangkan tempat ini sebelumnya. Namun di sinilah saya berada sekarang. Jauh dari tanah Jawa, tanah dimana saya lahir dan dibesarkan. Seperti namanya, Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Sebelumnya Kabupaten Kepulauan Talaud adalah bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud, namun setelah pemekaran wilayah pada tahun 2000 Kabupaten Kepulauan Talaud mulai berdiri sendiri.
Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki 3 pulau utama. Salah satunya adalah pulau saya, Kabaruan. Saya menyebutnya pulau saya seolah-olah itu milik saya. Bukankah ini memang milik saya? Milik Indonesia saya? Dua pulau yang lain tentu saja pulau yang memiliki peradaban lebih maju, Karakelang dan Salibabu. Dari yang saya dengar Kabupaten Kepulauan Talaud ini terdiri atas 17 pulau, sedangkan berdasarkan UU No. 8 tahun 2002 Kepulauan Talaud terdiri dari 20 pulau, namun saya sendiri masih hanya mengidentifikasi diantaranya yaitu 16 pulau berikut :
  1. Pulau Karakelang, di mana terdapat kantor kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Melonguane. Pulau Karakelang terdiri dari 3 pulau yaitu pulau Karakelang sendiri,
  2. Pulau Nusa Dolom, dan
  3. Pulau Nusa Tofor
  4. Pulau  Salibabu, di mana terdapat pelabuhan Lirung yang jaraknya tidak jauh dengan pasar Lirung (bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki kurang lebih selama 5 menit atau naik bentor). Pasar Lirung adalah pusat kegiatan perekonomian terbesar di Talaud selain di Kecamatan Beo di pulau Karakelang. Di Lirung inilah tempat kami biasa berbelanja, mengambil paket pos, dan mengambil uang melalui anjungan tunai mandiri.  Pulau Salibabu juga terdiri dari 3 pulau, diantaranya pulau Salibabu sendiri,
  5. Pulau Sara Kecil, dan
  6. Pulau Sara Besar, di mana terdapat kawasan wisata Pantai Pasir Putih Pulau Sarra, walaupun sebenarnya pantai pasir putih di Talaud tidak hanya ada di pulau Sarra, tapi banyak.
  7. Pulau Kabaruan, di mana desa yang saya tempati berada. Pulau ini terdiri dari 2 pulau, yaitu pulau Kabaruan sendiri, dan
  8. Pulau Napombalu, sebuah gunung laut yang konon merupakan gunung laut tertinggi ke-2  se-Asia yang berada di sebelah tenggara Pulau Kabaruan.
Pulau Nenusa, yang merupakan kelompok  kepulauan yang terdiri dari 8 pulau, diantaranya yaitu
  1. Pulau Mangupung/Mangumpung
  2. Pulau Karatung
  3. Pulau Marampit/Merapit
  4. Pulau Garat/Gerama
  5. Pulau Malo
  6. Pulau Kakorotan/Kakarutang
  7. Pulau Intata, yang dijadikan sebagai lokasi pelaksanaan festival budaya adat Mane'e (penangkapan ikan secara massal dengan alat tangkap tradisional) dan
  8. Pulau Miangas, yang merupakan pulau paling utara dan berbatasan langsung dengan daerah Davao del Sur Filipina.
Islands of Paradise begitulah orang Portugis menyebutnya. The green islands, white sands, deep harbor, coral reefs, unique traditional culture island. 
“Sansiote Sampate-Pate” adalah semboyan perjuangan masyarakat tanah porodisa ini. “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Tuntas” atau mungkin “Bersama Kita Bisa” itulah kira-kira artinya. Ketika saya tanyakan pada masyarakat di sini langsung, mereka sendiri sulit menjelaskan arti semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, karena kalimat itu berasal dari nenek moyang mereka dahulu yang tidak mudah untuk diartikan secara letter lek. Sama halnya dengan semboyan Jawa “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Tuntas” yang akan sulit jika harus diartikan per kata. Ada sedikit lelucon dari plesetan semboyan ini.
“Sansiote Sampate-Pate. Mari jo kita bagate”
(Sansiote Sampate-Pate. Mari kita minum (mabuk))
ada lagi
"Sansiote Sampate-Pate. Io mate yau bagate"
(Sansiote Sampate-Pate. Kamu mati saya minum (mabok))
Bagate adalah bahasa daerah di sini untuk minum (miras). Bagate juga merupakan suatu budaya yang tidak bisa lepas dari masyarakat tanah porodisa ini khususnya, dan masyarakat Sulawesi Utara umumnya. Miras tradisional di sini mereka menyebutnya dengan cap tikus. Kenapa disebut cap tikus? Itu karena dalam pengambilan bahannya dari pohon melalui belahan bambu dan tikus sering berjalan melewati belahan bambu tersebut, jawaban asal dari seorang rekan kerja. Jawaban sebenarnya saya belum tau. Berdasarkan hasil wawancara tak resmi, bisa dibilang hanya dari obrolan santai dengan beberapa rekan kerja, saya mendapatkan informasi berikut.
Cap tikus tidak diproduksi di pulauku. Karena di sini tak ada pohon seno yang merupakan bahan utama pembuatannya. Cap tikus yang ada di sini di datangkan dari beberapa daerah seperti Sangir dan Minahasa. Terutama Minahasa yang terkenal sebagai produsen utama cap tikus. Cap tikus sepertinya sama dengan arak jika di Jawa. Pohon seno yang dimaksud sebagai bahan dasarnya itu memiliki buah kecil-kecil seukuran buah duku, kurasa juga sama dengan pohon siwalan di Jawa yang merupakan bahan dasar arak.
Bahan dasar yang masih mentah berupa air berwarna putih keruh disebut saguer, ketika di Minahasa saya sempat mencicipinya. Rasanya asam manis dan ada sensasi rasa seperti soda. Saguer inipun kelihatannya sama dengan legen yang biasa di jual di Jawa. Cara pengolahannya yaitu dengan merebus air yang dihasilkan dari pohon seno tadi atau saguer kemudian diambil uapnya.
Uap inilah yang menjadi cap tikus. Warnanya kuning pudar seperti bensin. Berdasarkan kadar alkoholnya, cap tikus memiliki tingkatan nomor yaitu cap tikus no 1, 2, dan 3. Cap tikus yang biasa dikonsumsi di sini adalah no 2 dan 3. No 2 itupun sangat jarang, yang lebih sering adalah no 3. Sedangkan cap tikus no 1 tidak ada di sini. Cap tikus no 1 sangat keras, kadar alkoholnya paling tinggi. Biasanya hanya dikonsumsi sebagai obat kuat oleh orang-orang yang lepas bekerja dari kebun, mereka hanya meminumnya 1 sloki (gelas minuman yang amat sangat kecil dan imut menurut saya). Begitu kerasnya hingga jika dituang dan disulut api, cap tikus no 1 ini bisa menyala.
Cap tikus biasa diminum dengan dicampur (orang Jawa bilang dioplos/oplosan) dengan minuman bersoda. Bisa dengan minuman bersoda merk coc* col*, spr*te, f*nt* atau minuman dopping merk prok*s* yang sekarang sedang jadi pasangan ideal cap tikus. Dulu sebelum ada prok*s*, orang di sini sering mencampurnya dengan coc* col* hingga sebutan dari pasangan minuman itu adalah "cako" cap tikus coc* col*. Namun tren itu sekarang bergeser, sebutannya bukan lagi "cako" tetapi "1 kilo" (dalam bahasa Talaud hangkilo). Kenapa "1 kilo"? Itu karena suatu saat ada seorang penjual yang iseng menimbang 1 botol cap tikus, botolnya adalah botol bekas air mineral ukuran setengah liter dan hasilnya ketika ditimbang adalah 8 ons, kemudian untuk menggenapi menjadi 1 kilo ditambahkan minuman prok*s* sebanyak 2 buah yang ukuran kemasannya adalah kemasan gelas air mineral. Jadilah 1 botol cap tikus dan 2 gelas minuman prok*s* itu menjadi pasangan ideal dengan nama "1 kilo". Ketika orang ingin membeli pasangan itu, tak perlu lagi menyebutnya cap tikus. Cukup mengatakan membeli "1kilo" maka penjual sudah tau yang di maksud. Harga pasangan itu di sini adalah Rp 25.000,- namun jika ingin membeli hanya cap tikus saja tanpa pasangannya, mereka menyebutnya "tok" tetap bisa hanya dengan Rp 20.000,- saja dikurangi Rp 5.000 untuk harga 2 gelas prok*s*.
Selain miras tradisional cap tikus, di sini juga banyak beredar miras buatan pabrik. Beberapa merk yang popular di sini diantaranya adalah King, Cassanova, Valentine, Kesegaran, dan Anggur Putih. Anggur putih jarang dikonsumsi karena harganya yang lebih mahal yaitu diatas standar harga King dan Cassanova yang hanya sekitar Rp 25.000,- . Anggur Putih hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas.
Dalam hal perekonomian saya rasa masyarakat di sini memiliki pendapatan yang cukup besar sekalipun hanya sekedar hasil berkebun. Ketika pertama kali tiba di sini saya cukup heran melihat barang-barang elektronik yang dimiliki sebagian besar masyarakat di sini. Televisi, Setrika, Kulkas, Dispenser, Mesin Cuci, Blender, Mixer, dan Oven, meskipun hanya oven tradisional mereka memilikinya. Bila saya bandingkan dengan desa saya di Jawa ini sangat berbeda jauh. Di desa saya di Jawa jarang orang yang memiliki mesin cuci, sekalipun orang tersebut termasuk orang yang mampu membelinya. Kulkas saja biasanya selalu menjadi alat untuk usaha tidak semata-mata untuk dipergunakan secara pribadi. Saya jadi merasa bahwa orang Jawa itu sebenarnya miskin, bagaimana tidak, orang-orang di sini yang notabene adalah orang pedalaman, tinggal di pulau-pulau kecil jauh dari kota, sulit transportasi namun mampu menghadirkan barang-barang itu di rumah mereka yang bahkan tokonya sendiri tak ada di pulau mereka. Harga sudah jelas lebih mahal dari harga di Jawa, dalam perjalanannya tentu memakan biaya tersendiri lagi karena di sini tidak hanya menggunakan perjalanan darat saja, tetapi darat dan laut sekaligus. Sedangkan orang Jawa yang aksesnya kemana-mana sangat mudah, harga juga murah tak mampu menghadirkannya. Bukankah ini perbedaan yang terlihat sangat jelas. Rumah-rumah di sini juga tak kalah dengan rumah-rumah di Jawa. Rumah bangunan tinggi dengan lantai mengkilap dari keramik, tempat tidur kasur busa yang empuk, sungguh jauh dari bayanganku sebelum tiba di sini. Untuk membangun rumah, mereka mendatangkan semua material dari luar pulau kecuali pasir dan batu, mereka menggunakan pasir dan batu dari pantai. Bisa jadi harga untuk membangun sebuah rumah di sini sudah bisa digunakan untuk membuat 3 rumah yang sama di Jawa.
Sekarang masalah fashion. Mereka tak pernah ketinggalan mode fashion terbaru. Untung saja saya tak mengikuti perintah dosen saya sepenuhnya. Dosen saya mengatakan untuk tak membawa baju yang bagus, tak usah membawa sepatu bagus, cukup membawa sepatu olahraga yang kuat saja. Apa jadinya jika saya menuruti dosen saya sepenuhnya sedangkan di sini mereka ke gereja dengan baju, sepatu, dan tas yang super modis bahkan ada yang branded. Untuk masalah gaya bahkan saya kalah. Untuk ke kebun mereka memiliki baju tersendiri yang penuh noda, yaitu karena noda dari getah pala yang tidak bisa hilang sekalipun dengan detergen pemutih atau penghilang noda membandel. Jika melihat kostum mereka untuk ke kebun dan ke gereja, perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Sangat kontras. Saat ke kebun baju compang camping penuh noda, sedangkan saat ke gereja baju gaun anggun dengan high heels dan tas cantik. Inilah Talaud. Kemampuan ekonomi ini tak lain adalah karena pala dan kelapa, komoditas utama di sini. Terutama pala yang paling banyak menghasilkan uang. Mereka memiliki pendapatan yang jauh lebih banyak dari orang Jawa, mereka dimanjakan hasil kebun yang melimpah. Kapanpun membutuhkan uang, pala bisa di panen kapan saja, sekalipun hanya 1 kg atau 2 kg setidaknya uang Rp 50.000,- sudah bisa dikantongi. Anak kecil pun tak pernah kekurangan uang di sini asalkan bisa ke kebun saja. Dan kemudahan mendapatkan uang inilah yang menjadi bumerang bagi mereka. Mereka jadi malas bekerja pada bidang yang lain, hanya mengandalkan kebun saja. Mereka tak segan-segan menghabiskan uangnya karena yakin akan mendapatkannya lagi dengan mudah. Namun tak selamanya hal itu akan bertahan. Itulah alasannya kenapa orang Jawa mampu sukses di manapun. Karena orang Jawa tak dimanjakan oleh alamnya, sehingga memaksa mereka berpikir kreatif dan tak mengandalkan alam saja melainkan mengandalkan diri sendiri.
Adat istiadat di sini cukup menarik. Mereka memiliki tarian adat yang disebut Garis Dobol selain garis dobol ada lagi yaitu Poco-Poco. Namanya garis dobol karena garis adalah gerakan mengayunkan kaki kanan dan kiri masing-masing dua kali secara berturut-turut, dan dobol adalah gerakan mengayunkan kaki kanan atau kiri satu kali segera setelah melsayakan gerakan garis. Sedangkan poco-poco disini bukanlah poco-poco yang selama ini kita kenal sebagai gerakan senam. This is very different. Poco-poco adalah tarian yang identik dengan menggoyangkan pantat kemudian berputar-putar seperti dalam senam poco-poco. Pertama kali datang di sini dan mereka membicarakan tentang poco-poco saya juga mengira yang dimaksud adalah poco-poco yang selama ini saya tahu sebagai senam. Ternyata bukan, lagunya pun berbeda.
Untuk masalah religi yaitu agama, masyarakat di Talaud mayoritas adalah penganut nasrani. Terutama Kristen Protestan. Prosentase berdasarkan perkiraanku sendiri yaitu 70% Kristen Protestan, 25% Kristen Katolik, dan 5% sisanya adalah Islam. Islam di sini pun hampir seluruhnya bukan penduduk asli namun adalah pendatang diantaranya dari Jawa, Makasar, Gorontalo, dan Kalimantan yang datang ke sini sebagai pedagang. Untuk di dessaya sendiri, di Peret mayoritas adalah penganut Katolik, untuk perbandingan antara penganut Katolik dan Protestan kira-kira 70 : 30. Untuk muslim hanya ada satu orang yaitu bapak Ilham itu pun bukan penduduk asli sini tapi asli Bau Bau Sulawesi Selatan. Khusus di dessaya, desa Peret, ada sebuah kesepakatan antara warga dan kepala desa yang jarang ada di desa lainnya. Bahwa hanya boleh dibangun dua tempat ibadah di desa, yaitu Gereja Katolik dan Gereja Protestan GERMITA (Gereja Masehi Injili di Talaud). Pun seperti di dalam agama Islam, agama Kristen juga memiliki banyak aliran, utamanya Kristen Protestan. Beda aliran tentu saja beda tempat ibadah. Seperti Pantekosta, GMIM, GBI, dll. Di desa-desa lain saya sering melihat Gereja Pantekosta, namun di dessaya, di Peret ini tidak ada gereja Pantekosta. Meski begitu kesepakatan ini bukan mutlak adanya. Misalkan saja ada sejumlah masyarakat yang jumlahnya cukup banyak menganut aliran Pantekosta dan ingin membangun Gereja Pantekosta atau barangkali malah menganut agama Islam dan ingin membangun Masjid, maka itu tidak dilarang. Namun sekali lagi kembali kepada masyarakat sendiri, masyarakat di sini tidak ada yang menganut Pantekosta ataupun yang beragama Islam yang jumlahnya cukup banyak untuk membangun sebuah tempat ibadah, maka tak terjadilah pembangunan tempat ibadah selain dua yang tadi. Konon kata seorang rekan kerjsaya, perbedaan-perbedaan aliran yang ada di Kristen Protestan di sini terkadang sengaja di buat oleh seseorang untuk mendapatkan kedudukan penting di gereja. Pernah suatu ketika ada seorang ketua umat Kristen Protestan yang masa jabatannya telah habis dan digantikan oleh orang lain, kemudian orang tersebut masih ingin berada pada jabatan tersebut, maka ia menciptakan aliran baru dalam Kristen Protestan dan membangun gereja untuk aliran tersebut sehingga ia dapat kembali memiliki kedudukan penting di gereja yang baru.  
Sekarang kita bahas sistem garis keturunan keluarga. Masyarakat di Talaud khususnya dan di Sulawesi utara umumnya menganut sistem “Fam” (marga). Setiap orang memiliki nama Fam. Fam di sini teramat sangat banyak sekali, dan saya hanya dapat menyebutkan beberapa saja. Misalnya Basaen, Rembaen, Taaweran (Ta’aweran_red), Taraungan, Saghoa (Sahoa_red), Aghoho (Ahoho_red), Manaida, Barahama, Ume, Elungan, Tatibi, Tumalang, Taae (Ta’ae_red), Mengga, Binambuni, Maamina, Kasealang, Sinedu, Maarebia (Ma’arebia_red), Naalinsong (Na’alinsong_red), Maalonsang (Ma’alonsang_red), Hengkeng, Lensehang, Langkada, Takalepakeng, Kiramis, Landang, Mamonto, Lintong, Larono, Makadadus, Tuage, Anti, Mangamis, Manambe, Bawues, Sangadi, Mamile, Taju (Tayu_red) dan masih banyak yang lainnya. Jika dua orang ingin menikah maka kedua orang tersebut tidak diperbolehkan memiliki Fam yang sama. Jika pun terjadi maka akan dicari garis keturunannya, apakah ayah dari ayah ayahnya ayah orang tersebut sudah lebih dari tujuh keturunan, jika telah lebih maka perkawinan dapat dilaksanakan, meskipun sebenarnya perkawinan satu Fam sangat dihindari. Jika seorang laki-laki bernama Abraham Libert Tuage menikah dengan seorang wanita bernama Aldiane Makadadus, maka keluarga tersebut memiliki nama baru yang disebut keluarga Tuage-Makadadus. Ya, Fam suami selalu berada di depan dan diikuti oleh Fam istri. Dan jika keluarga Tuage-Makadadus tersebut memiliki seorang anak, namanya adalah Prilia Kristina Tuage, karena anak selalu mengikuti Fam dari ayah. Kecuali jika dalam keadaan tertentu sehingga menggunakan Fam dari ibu. Misalkan saja anak yang tidak memiliki ayah (ayahnya tidak bertanggungjawab) atau ayahnya tidak memiliki Fam (karena bukan orang Talaud, orang Jawa misalnya). Maka jika terjadi perkawinan antara Felix Anti dengan Mardeti Anti, keluarga tersebut menjadi Anti-Anti dan ini terdengar sangat aneh, namun saya sendiri belum pernah mendengarnya, keluarga Anti-Anti tersebut hanya sebuah pemisalan saja.
Untuk nama panggilan, di sini banyak sekali nama panggilan yang jauh melenceng dengan nama yang tertera di akta kelahiran. Contohnya saja Irene Barahama dipanggil Sita, Wahidin Kasealang dipanggil opo (opo’), Yohanis Maximus Rembaen dipanggil opa (opa’), Fransiskus Basaen dipanggil Maamina, dan ternyata hal tersebut ada beberapa alasannya. Untuk Irene Barahama saya tidak tau apa alasannya. Untuk Wahidin Kasealang dipanggil Opo karena Opo adalah nama panggilan saying dari seorang ibu pada anak laki-lakinya, namun semua teman-temannya dan tetangga-tetangganya pasti juga turut memanggilnya Opo, padahal tidak sedikit ibu yang memanggil anaknya dengan sebutan Opo, lagi-lagi untuk membedakannya yaitu dengan Fam, misalkan Opo Kasealang atau Opo barahama. Untuk Yohanis Maximus Rembaen dipanggil Opa karena nama Yohanis adalah nama yang diambil dari nama kakeknya. Sedangkan Opa adalah sebutan untuk kakek di sini, sehingga dia dipanggil Opa karena dia menyandang nama kakeknya. Untuk Fransiskus Basaen yang dipanggil Maamina alasannya hampir sama dengan Yohanis Maximus Rembaen, Maamina adalah Fam ibunya, dan karena ibunya tak ingin Famnya mati, sehingga memanggilnya dengan nama Maamina. Akhirnya pertanyaan-pertanyaanku terjawab juga setelah selama kira-kira 6 bulan hanya bertanya-tanya dalam hati (1. Bukankah Opa itu adalah sebutan untuk kakek? Kenapa anak sekecil kelas 1 itu dipanggil Opa? Padahal namanya kan bukan Opa. 2. Bukankah Maamina itu nama Fam? Kenapa orang yang namanya bukan Maamina dan bahkan Famnya juga bukan Maamina justru dipanggil Maamina?).
           Kehidupan disini begitu berbeda dengan di Jawa. Segudang pengalaman tak terlupakan saya dapatkan di sini. Semua pelajaran ada, dari mulai toleransi hingga matematika. Kini Desa Peret Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara telah menjadi kampung kedua bagi saya. Selama satu tahun di sini, tak ada sedikit pengalaman pun yang tak berguna. Baik pengalaman sedih maupun gembira semua dapat saya jadikan pelajaran untuk kehidupan saya kedepannya. Mengikuti SM-3T sungguh bukanlah pilihan yang salah. Terima Kasih SM-3T.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar