Lain ladang lain belalang.
Lain lubuk lain ikannya.
Pepatah ini mengandung
arti bahwasanya setiap tempat memiliki karakteristik lingkungan alam yang khas.
Demikian pula setiap suku bangsa yang menempati suatu daerah, mereka memiliki
budaya dengan keunikan masing-masing. “Talaud”,
kata ini terdengar cukup asing pada awalnya. Talaud adalah sebuah kabupaten
kepulauan di ujung utara Indonesia. Di bagian Utara berbatasan dengan Negara
Filipina, bagian Selatan adalah laut Maluku, bagian Barat adalah laut Sulawesi,
dan bagian Timur adalah Samudera Pasifik.
Saya adalah seorang gadis 24 tahun asal kota Gadis yaitu Madiun. Dua tahun
yang lalu saya baru saja menyelesaikan pendidikan Sarjana Pendidikan Luar Biasa
di Universitas Negeri Surabaya, orang biasa menyebutnya UNESA. Nama saya sangat
singkat, MURNI. Namun setelah lulus dari UNESA nama saya menjadi sedikit lebih
panjang, MURNI, S.Pd.. Ya, karena saya adalah lulusan dari universitas
keguruan, otomatis nama saya mendapat embel-embel gelar S.Pd.. Satu tahun yang
lalu dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk mengikuti program
SM-3T yaitu program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen
Dikti) melalui seluruh universitas negeri keguruan di Indonesia, salah satunya
adalah Universitas Negeri Surabaya. Awalnya cukup khawatir akan tugas
penempatan di luar pulau Jawa, karena saat mendaftar belum diumumkan akan
ditempatkan di mana. Namun dengan tekad yang bulat dengan bekal keyakinan bahwa
peserta SM-3T angkatan sebelumnya saja bisa, kenapa saya tidak, akhirnya saya
berangkat.
Tak pernah bermimpi dan
membayangkan tempat ini sebelumnya. Namun di sinilah saya berada sekarang. Jauh dari tanah
Jawa, tanah dimana saya lahir
dan dibesarkan. Seperti namanya, Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah
yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Sebelumnya Kabupaten Kepulauan Talaud
adalah bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud, namun setelah pemekaran
wilayah pada tahun 2000 Kabupaten Kepulauan Talaud mulai berdiri sendiri.
Kabupaten Kepulauan
Talaud memiliki 3 pulau utama. Salah satunya adalah pulau saya, Kabaruan. Saya menyebutnya pulau saya seolah-olah itu milik saya. Bukankah ini memang milik saya? Milik Indonesia saya? Dua pulau yang lain tentu saja
pulau yang memiliki peradaban lebih maju, Karakelang dan Salibabu. Dari yang saya dengar Kabupaten Kepulauan Talaud
ini terdiri atas 17 pulau, sedangkan berdasarkan UU No. 8 tahun 2002 Kepulauan
Talaud terdiri dari 20 pulau, namun saya sendiri masih hanya mengidentifikasi
diantaranya yaitu 16 pulau berikut :
- Pulau Karakelang, di mana terdapat kantor kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Melonguane. Pulau Karakelang terdiri dari 3 pulau yaitu pulau Karakelang sendiri,
- Pulau Nusa Dolom, dan
- Pulau Nusa Tofor
- Pulau Salibabu, di mana terdapat pelabuhan Lirung yang jaraknya tidak jauh dengan pasar Lirung (bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki kurang lebih selama 5 menit atau naik bentor). Pasar Lirung adalah pusat kegiatan perekonomian terbesar di Talaud selain di Kecamatan Beo di pulau Karakelang. Di Lirung inilah tempat kami biasa berbelanja, mengambil paket pos, dan mengambil uang melalui anjungan tunai mandiri. Pulau Salibabu juga terdiri dari 3 pulau, diantaranya pulau Salibabu sendiri,
- Pulau Sara Kecil, dan
- Pulau Sara Besar, di mana terdapat kawasan wisata Pantai Pasir Putih Pulau Sarra, walaupun sebenarnya pantai pasir putih di Talaud tidak hanya ada di pulau Sarra, tapi banyak.
- Pulau Kabaruan, di mana desa yang saya tempati berada. Pulau ini terdiri dari 2 pulau, yaitu pulau Kabaruan sendiri, dan
- Pulau Napombalu, sebuah gunung laut yang konon merupakan gunung laut tertinggi ke-2 se-Asia yang berada di sebelah tenggara Pulau Kabaruan.
Pulau Nenusa, yang
merupakan kelompok kepulauan yang
terdiri dari 8 pulau, diantaranya yaitu
- Pulau Mangupung/Mangumpung
- Pulau Karatung
- Pulau Marampit/Merapit
- Pulau Garat/Gerama
- Pulau Malo
- Pulau Kakorotan/Kakarutang
- Pulau Intata, yang dijadikan sebagai lokasi pelaksanaan festival budaya adat Mane'e (penangkapan ikan secara massal dengan alat tangkap tradisional) dan
- Pulau Miangas, yang merupakan pulau paling utara dan berbatasan langsung dengan daerah Davao del Sur Filipina.
Islands of Paradise begitulah orang
Portugis menyebutnya. The green islands, white sands, deep harbor, coral reefs,
unique traditional culture island.
“Sansiote Sampate-Pate”
adalah semboyan perjuangan masyarakat tanah porodisa ini. “Rawe-Rawe Rantas
Malang-Malang Tuntas” atau mungkin “Bersama Kita Bisa” itulah kira-kira
artinya. Ketika saya tanyakan pada masyarakat di sini langsung, mereka sendiri sulit
menjelaskan arti semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, karena kalimat itu
berasal dari nenek moyang mereka dahulu yang tidak mudah untuk diartikan secara
letter lek. Sama halnya dengan semboyan Jawa “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang
Tuntas” yang akan sulit jika harus diartikan per kata. Ada sedikit lelucon dari
plesetan semboyan ini.
“Sansiote Sampate-Pate. Mari jo kita
bagate”
(Sansiote Sampate-Pate. Mari kita
minum (mabuk))
ada lagi
"Sansiote Sampate-Pate. Io mate
yau bagate"
(Sansiote Sampate-Pate. Kamu mati
saya minum (mabok))
Bagate adalah bahasa daerah di sini untuk
minum (miras). Bagate juga merupakan
suatu budaya yang tidak bisa lepas dari masyarakat tanah porodisa ini
khususnya, dan masyarakat Sulawesi Utara umumnya. Miras tradisional di sini
mereka menyebutnya dengan cap tikus.
Kenapa disebut cap tikus? Itu karena dalam pengambilan bahannya dari pohon
melalui belahan bambu dan tikus sering berjalan melewati belahan bambu tersebut,
jawaban asal dari seorang rekan kerja. Jawaban sebenarnya saya belum tau.
Berdasarkan hasil wawancara tak resmi, bisa dibilang hanya dari obrolan santai
dengan beberapa rekan kerja, saya mendapatkan informasi berikut.
Cap tikus tidak
diproduksi di pulauku. Karena di sini tak ada pohon seno yang merupakan bahan
utama pembuatannya. Cap tikus yang ada di sini di datangkan dari beberapa
daerah seperti Sangir dan Minahasa. Terutama Minahasa yang terkenal sebagai
produsen utama cap tikus. Cap tikus sepertinya sama dengan arak jika di Jawa.
Pohon seno yang dimaksud sebagai bahan dasarnya itu memiliki buah kecil-kecil
seukuran buah duku, kurasa juga sama dengan pohon siwalan di Jawa yang
merupakan bahan dasar arak.
Bahan dasar yang masih mentah
berupa air berwarna putih keruh disebut saguer, ketika di Minahasa saya sempat
mencicipinya. Rasanya asam manis dan ada sensasi rasa seperti soda. Saguer
inipun kelihatannya sama dengan legen yang biasa di jual di Jawa. Cara
pengolahannya yaitu dengan merebus air yang dihasilkan dari pohon seno tadi
atau saguer kemudian diambil uapnya.
Uap inilah yang menjadi
cap tikus. Warnanya kuning pudar seperti bensin. Berdasarkan kadar alkoholnya,
cap tikus memiliki tingkatan nomor yaitu cap tikus no 1, 2, dan 3. Cap tikus
yang biasa dikonsumsi di sini adalah no 2 dan 3. No 2 itupun sangat jarang,
yang lebih sering adalah no 3. Sedangkan cap tikus no 1 tidak ada di sini. Cap
tikus no 1 sangat keras, kadar alkoholnya paling tinggi. Biasanya hanya
dikonsumsi sebagai obat kuat oleh orang-orang yang lepas bekerja dari kebun,
mereka hanya meminumnya 1 sloki (gelas minuman yang amat sangat kecil dan imut
menurut saya). Begitu kerasnya hingga jika dituang dan disulut api, cap tikus no 1
ini bisa menyala.
Cap tikus biasa diminum dengan dicampur (orang Jawa bilang
dioplos/oplosan) dengan minuman bersoda. Bisa dengan minuman bersoda merk coc*
col*, spr*te, f*nt* atau minuman dopping merk prok*s* yang sekarang sedang jadi
pasangan ideal cap tikus. Dulu sebelum ada prok*s*, orang di sini sering
mencampurnya dengan coc* col* hingga sebutan dari pasangan minuman itu adalah
"cako" cap tikus coc* col*. Namun tren itu sekarang bergeser,
sebutannya bukan lagi "cako" tetapi "1 kilo" (dalam bahasa
Talaud hangkilo). Kenapa "1 kilo"? Itu karena suatu saat ada seorang
penjual yang iseng menimbang 1 botol cap tikus, botolnya adalah botol bekas air
mineral ukuran setengah liter dan hasilnya ketika ditimbang adalah 8 ons,
kemudian untuk menggenapi menjadi 1 kilo ditambahkan minuman prok*s* sebanyak 2
buah yang ukuran kemasannya adalah kemasan gelas air mineral. Jadilah 1 botol
cap tikus dan 2 gelas minuman prok*s* itu menjadi pasangan ideal dengan nama
"1 kilo". Ketika orang ingin membeli pasangan itu, tak perlu lagi
menyebutnya cap tikus. Cukup mengatakan membeli "1kilo" maka penjual
sudah tau yang di maksud. Harga pasangan itu di sini adalah Rp 25.000,- namun
jika ingin membeli hanya cap tikus saja tanpa pasangannya, mereka menyebutnya
"tok" tetap bisa hanya dengan Rp 20.000,- saja dikurangi Rp 5.000
untuk harga 2 gelas prok*s*.
Selain miras tradisional
cap tikus, di sini juga banyak beredar miras buatan pabrik. Beberapa merk yang
popular di sini diantaranya adalah King, Cassanova, Valentine, Kesegaran, dan
Anggur Putih. Anggur putih jarang dikonsumsi karena harganya yang lebih mahal
yaitu diatas standar harga King dan Cassanova yang hanya sekitar Rp 25.000,- .
Anggur Putih hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas.
Dalam hal perekonomian saya rasa masyarakat di sini memiliki
pendapatan yang cukup besar sekalipun hanya sekedar hasil berkebun. Ketika
pertama kali tiba di sini saya cukup heran melihat barang-barang elektronik
yang dimiliki sebagian besar masyarakat di sini. Televisi, Setrika, Kulkas,
Dispenser, Mesin Cuci, Blender, Mixer, dan Oven, meskipun hanya oven tradisional
mereka memilikinya. Bila saya bandingkan dengan desa saya di Jawa ini sangat berbeda jauh. Di desa saya di Jawa jarang orang yang
memiliki mesin cuci, sekalipun orang tersebut termasuk orang yang mampu
membelinya. Kulkas saja biasanya selalu menjadi alat untuk usaha tidak
semata-mata untuk dipergunakan secara pribadi. Saya jadi merasa bahwa orang
Jawa itu sebenarnya miskin, bagaimana tidak, orang-orang di sini yang notabene
adalah orang pedalaman, tinggal di pulau-pulau kecil jauh dari kota, sulit
transportasi namun mampu menghadirkan barang-barang itu di rumah mereka yang
bahkan tokonya sendiri tak ada di pulau mereka. Harga sudah jelas lebih mahal
dari harga di Jawa, dalam perjalanannya tentu memakan biaya tersendiri lagi
karena di sini tidak hanya menggunakan perjalanan darat saja, tetapi darat dan
laut sekaligus. Sedangkan orang Jawa yang aksesnya kemana-mana sangat mudah,
harga juga murah tak mampu menghadirkannya. Bukankah ini perbedaan yang
terlihat sangat jelas. Rumah-rumah di sini juga tak kalah dengan rumah-rumah di
Jawa. Rumah bangunan tinggi dengan lantai mengkilap dari keramik, tempat tidur
kasur busa yang empuk, sungguh jauh dari bayanganku sebelum tiba di sini. Untuk
membangun rumah, mereka mendatangkan semua material dari luar pulau kecuali
pasir dan batu, mereka menggunakan pasir dan batu dari pantai. Bisa jadi harga
untuk membangun sebuah rumah di sini sudah bisa digunakan untuk membuat 3 rumah
yang sama di Jawa.
Sekarang masalah fashion.
Mereka tak pernah ketinggalan mode fashion terbaru. Untung saja saya tak
mengikuti perintah dosen saya sepenuhnya. Dosen saya mengatakan untuk tak membawa baju yang bagus, tak usah
membawa sepatu bagus, cukup membawa sepatu olahraga yang kuat saja. Apa jadinya
jika saya menuruti dosen saya sepenuhnya sedangkan di sini mereka ke gereja dengan baju, sepatu, dan tas yang super modis
bahkan ada yang branded. Untuk masalah gaya bahkan saya kalah. Untuk ke kebun
mereka memiliki baju tersendiri yang penuh noda, yaitu karena noda dari getah pala yang
tidak bisa hilang sekalipun dengan detergen pemutih atau penghilang noda
membandel. Jika melihat kostum mereka untuk ke kebun dan ke gereja,
perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Sangat kontras. Saat ke kebun baju
compang camping penuh noda, sedangkan saat ke gereja baju gaun anggun dengan
high heels dan tas cantik. Inilah Talaud. Kemampuan ekonomi ini tak lain adalah
karena pala dan kelapa, komoditas utama di sini. Terutama pala yang paling
banyak menghasilkan uang. Mereka memiliki pendapatan yang jauh lebih banyak
dari orang Jawa, mereka dimanjakan hasil kebun yang melimpah. Kapanpun
membutuhkan uang, pala bisa di panen kapan saja, sekalipun hanya 1 kg atau 2 kg
setidaknya uang Rp 50.000,- sudah bisa dikantongi. Anak kecil pun tak pernah
kekurangan uang di sini asalkan bisa ke kebun saja. Dan kemudahan mendapatkan
uang inilah yang menjadi bumerang bagi mereka. Mereka jadi malas bekerja pada
bidang yang lain, hanya mengandalkan kebun saja. Mereka tak segan-segan
menghabiskan uangnya karena yakin akan mendapatkannya lagi dengan mudah. Namun
tak selamanya hal itu akan bertahan. Itulah alasannya kenapa orang Jawa mampu
sukses di manapun. Karena orang Jawa tak dimanjakan oleh alamnya, sehingga
memaksa mereka berpikir kreatif dan tak mengandalkan alam saja melainkan
mengandalkan diri sendiri.
Adat istiadat di sini
cukup menarik. Mereka memiliki tarian adat yang disebut Garis Dobol selain
garis dobol ada lagi yaitu Poco-Poco. Namanya garis dobol karena garis adalah
gerakan mengayunkan kaki kanan dan kiri masing-masing dua kali secara
berturut-turut, dan dobol adalah gerakan mengayunkan kaki kanan atau kiri satu
kali segera setelah melsayakan gerakan garis. Sedangkan poco-poco disini
bukanlah poco-poco yang selama ini kita kenal sebagai gerakan senam. This is
very different. Poco-poco adalah tarian yang identik dengan menggoyangkan
pantat kemudian berputar-putar seperti dalam senam poco-poco. Pertama kali
datang di sini dan mereka membicarakan tentang poco-poco saya juga mengira yang
dimaksud adalah poco-poco yang selama ini saya tahu sebagai senam. Ternyata
bukan, lagunya pun berbeda.
Untuk masalah religi
yaitu agama, masyarakat di Talaud mayoritas adalah penganut nasrani. Terutama
Kristen Protestan. Prosentase berdasarkan perkiraanku sendiri yaitu 70% Kristen
Protestan, 25% Kristen Katolik, dan 5% sisanya adalah Islam. Islam di sini pun
hampir seluruhnya bukan penduduk asli namun adalah pendatang diantaranya dari
Jawa, Makasar, Gorontalo, dan Kalimantan yang datang ke sini sebagai pedagang. Untuk
di dessaya sendiri, di Peret mayoritas adalah penganut Katolik, untuk
perbandingan antara penganut Katolik dan Protestan kira-kira 70 : 30. Untuk
muslim hanya ada satu orang yaitu bapak Ilham itu pun bukan penduduk asli sini
tapi asli Bau Bau Sulawesi Selatan. Khusus di dessaya, desa Peret, ada sebuah
kesepakatan antara warga dan kepala desa yang jarang ada di desa lainnya. Bahwa
hanya boleh dibangun dua tempat ibadah di desa, yaitu Gereja Katolik dan Gereja
Protestan GERMITA (Gereja Masehi Injili di Talaud). Pun seperti di dalam agama
Islam, agama Kristen juga memiliki banyak aliran, utamanya Kristen Protestan.
Beda aliran tentu saja beda tempat ibadah. Seperti Pantekosta, GMIM, GBI, dll.
Di desa-desa lain saya sering melihat Gereja Pantekosta, namun di dessaya, di
Peret ini tidak ada gereja Pantekosta. Meski begitu kesepakatan ini bukan
mutlak adanya. Misalkan saja ada sejumlah masyarakat yang jumlahnya cukup
banyak menganut aliran Pantekosta dan ingin membangun Gereja Pantekosta atau
barangkali malah menganut agama Islam dan ingin membangun Masjid, maka itu
tidak dilarang. Namun sekali lagi kembali kepada masyarakat sendiri, masyarakat
di sini tidak ada yang menganut Pantekosta ataupun yang beragama Islam yang
jumlahnya cukup banyak untuk membangun sebuah tempat ibadah, maka tak
terjadilah pembangunan tempat ibadah selain dua yang tadi. Konon kata seorang
rekan kerjsaya, perbedaan-perbedaan aliran yang ada di Kristen Protestan di
sini terkadang sengaja di buat oleh seseorang untuk mendapatkan kedudukan penting
di gereja. Pernah suatu ketika ada seorang ketua umat Kristen Protestan yang
masa jabatannya telah habis dan digantikan oleh orang lain, kemudian orang
tersebut masih ingin berada pada jabatan tersebut, maka ia menciptakan aliran
baru dalam Kristen Protestan dan membangun gereja untuk aliran tersebut
sehingga ia dapat kembali memiliki kedudukan penting di gereja yang baru.
Sekarang kita bahas
sistem garis keturunan keluarga. Masyarakat di Talaud khususnya dan di Sulawesi
utara umumnya menganut sistem “Fam” (marga). Setiap orang memiliki nama Fam.
Fam di sini teramat sangat banyak sekali, dan saya hanya dapat menyebutkan
beberapa saja. Misalnya Basaen, Rembaen, Taaweran (Ta’aweran_red), Taraungan,
Saghoa (Sahoa_red), Aghoho (Ahoho_red), Manaida, Barahama, Ume, Elungan,
Tatibi, Tumalang, Taae (Ta’ae_red), Mengga, Binambuni, Maamina, Kasealang,
Sinedu, Maarebia (Ma’arebia_red), Naalinsong (Na’alinsong_red), Maalonsang
(Ma’alonsang_red), Hengkeng, Lensehang, Langkada, Takalepakeng, Kiramis,
Landang, Mamonto, Lintong, Larono, Makadadus, Tuage, Anti, Mangamis, Manambe,
Bawues, Sangadi, Mamile, Taju (Tayu_red) dan masih banyak yang lainnya. Jika
dua orang ingin menikah maka kedua orang tersebut tidak diperbolehkan memiliki
Fam yang sama. Jika pun terjadi maka akan dicari garis keturunannya, apakah
ayah dari ayah ayahnya ayah orang tersebut sudah lebih dari tujuh keturunan,
jika telah lebih maka perkawinan dapat dilaksanakan, meskipun sebenarnya
perkawinan satu Fam sangat dihindari. Jika seorang laki-laki bernama Abraham
Libert Tuage menikah dengan seorang wanita bernama Aldiane Makadadus, maka
keluarga tersebut memiliki nama baru yang disebut keluarga Tuage-Makadadus. Ya,
Fam suami selalu berada di depan dan diikuti oleh Fam istri. Dan jika keluarga
Tuage-Makadadus tersebut memiliki seorang anak, namanya adalah Prilia Kristina
Tuage, karena anak selalu mengikuti Fam dari ayah. Kecuali jika dalam keadaan
tertentu sehingga menggunakan Fam dari ibu. Misalkan saja anak yang tidak
memiliki ayah (ayahnya tidak bertanggungjawab) atau ayahnya tidak memiliki Fam
(karena bukan orang Talaud, orang Jawa misalnya). Maka jika terjadi perkawinan
antara Felix Anti dengan Mardeti Anti, keluarga tersebut menjadi Anti-Anti dan
ini terdengar sangat aneh, namun saya sendiri belum pernah mendengarnya,
keluarga Anti-Anti tersebut hanya sebuah pemisalan saja.
Untuk nama panggilan, di
sini banyak sekali nama panggilan yang jauh melenceng dengan nama yang tertera
di akta kelahiran. Contohnya saja Irene Barahama dipanggil Sita, Wahidin Kasealang
dipanggil opo (opo’), Yohanis Maximus Rembaen dipanggil opa (opa’), Fransiskus
Basaen dipanggil Maamina, dan ternyata hal tersebut ada beberapa alasannya.
Untuk Irene Barahama saya tidak tau apa alasannya. Untuk Wahidin Kasealang
dipanggil Opo karena Opo adalah nama panggilan saying dari seorang ibu pada
anak laki-lakinya, namun semua teman-temannya dan tetangga-tetangganya pasti
juga turut memanggilnya Opo, padahal tidak sedikit ibu yang memanggil anaknya
dengan sebutan Opo, lagi-lagi untuk membedakannya yaitu dengan Fam, misalkan
Opo Kasealang atau Opo barahama. Untuk Yohanis Maximus Rembaen dipanggil Opa
karena nama Yohanis adalah nama yang diambil dari nama kakeknya. Sedangkan Opa
adalah sebutan untuk kakek di sini, sehingga dia dipanggil Opa karena dia
menyandang nama kakeknya. Untuk Fransiskus Basaen yang dipanggil Maamina
alasannya hampir sama dengan Yohanis Maximus Rembaen, Maamina adalah Fam
ibunya, dan karena ibunya tak ingin Famnya mati, sehingga memanggilnya dengan
nama Maamina. Akhirnya pertanyaan-pertanyaanku terjawab juga setelah selama
kira-kira 6 bulan hanya bertanya-tanya dalam hati (1. Bukankah Opa itu adalah
sebutan untuk kakek? Kenapa anak sekecil kelas 1 itu dipanggil Opa? Padahal
namanya kan bukan Opa. 2. Bukankah Maamina itu nama Fam? Kenapa orang yang
namanya bukan Maamina dan bahkan Famnya juga bukan Maamina justru dipanggil Maamina?).
Kehidupan disini begitu berbeda dengan di
Jawa. Segudang pengalaman tak terlupakan saya dapatkan di sini. Semua pelajaran
ada, dari mulai toleransi hingga matematika. Kini Desa Peret Kabupaten Kepulauan Talaud
Sulawesi Utara telah menjadi kampung kedua bagi saya. Selama satu tahun di
sini, tak ada sedikit pengalaman pun yang tak berguna. Baik pengalaman sedih
maupun gembira semua dapat saya jadikan pelajaran untuk kehidupan saya
kedepannya. Mengikuti SM-3T sungguh bukanlah pilihan yang salah. Terima Kasih
SM-3T.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar