Sabtu, 28 Februari 2015

Koin Kejadian






Di dalam dompet saya ada beberapa koin, entah sisa dari membeli apa saya sudah lupa dan itu tidak penting. Seperti kebanyakan dari sebagian kita,  pasti menyiapkan tempat koin tersendiri di dalam dompet. Entah sudah berapa lama koin itu tidak saya sentuh. Yang jelas koin itu saya bawa dari Jawa. Seingat saya, saya tidak pernah mengeluarkan uang koin selama 2 bulan 15 hari di Talaud ini. Dan pada suatu senin pagi waktu setempat seperti biasanya para siswa melakukan ibadah rutin awal pekan. Biasanya saya mengikuti ibadah jika ingin dan tidak mengikuti jika tidak ingin. Pagi itu hanya ada satu orang guru yang mendampingi ibadah, dan saya berfikir alangkah lebih baik kalau saya turut mendampingi. Ketika membuka dompet untuk menyiapkan uang persembahan saya tidak menemukan pecahan seribu atau dua ribu. Saya sudah berusaha mencari di dalam tas barangkali ada pecahan yang saya cari, ternyata nihil. Mau tukar pun belum ada orang di kantor guru selain saya. Akhirnya dengan ragu-ragu saya membuka dompet bagian koin. Amat sangat berat mengambil koin untuk sebuah ibadah, seolah-olah akan memberi pengamen saja. Otak saya terus berdebat antara memberi persembahan koin atau tidak memberi persembahan, saya malu memberi persembahan koin, tapi apakah pantas jika seorang guru justru tidak memberikan persembahan, sedangkan guru adalah contoh bagi para siswa. Atau sebaiknya saya ambil uang lima puluh ribu dan mengambil kembalian sendiri dalam mangkuk persembahan seperti para siswa yang saya lihat sering memasukkan dua ribu dan mengambil seribu dari mangkuk persembahan. Rasanya lebih memalukan. Waktu untuk berfikir sangat sempit dan saya harus segera memutuskan. Detik itu akhirnya saya putuskan mengambil dua koin lima ratus rupiah terbaik yang ada dalam dompet. Segera saya masukkan dalam saku bawah baju saya supaya tidak terlihat oleh para siswa. Dan saya pun masuk ruang kelas satu yang dijadikan sebagai ruang ibadah. Rangkaian ibadah dimulai, hingga pujian berjudul "ku beri persembahan" pun dilantunkan pertanda saatnya persembahan tiba. Semua siswa telah selesai memberi persembahan, guru yang mendampingi ibadah mulai berdiri memberi persembahan, inilah saatnya, saya ambil bagian paling akhir. Secara perlahan saya ambil koin dari saku dan memasukkannya ke dalam mangkuk persembahan supaya bunyi benturan dua koin tidak terdengar. Tapi seperlahan apapun bunyi benturan koin tetap terdengar saat saya melepasnya dari jari tangan. Terlebih ketika seorang siswa mulai mengambil dan menghitung uang persembahan hari ini. Bunyinya begitu nyata, sialnya lagi siswa itu justru sengaja mengadu dua koin saya untuk dimainkan sehingga menimbulkan bunyi. Segera saya amati reaksi para siswa dan guru pendamping ibadah. Mereka tampak biasa saja. Hanya wajah siswa kelas enam yang saya rasa memandang saya agak berbeda. Tapi mereka tidak tertawa. Jadi sepertinya ini aman. Saya berusaha tidak terlihat khawatir meskipun dalam hati saya berdebar-debar, apakah yang saya lakukan ini akan memalukan atau tidak. Senin itu pun berlalu tanpa ada komentar dari siapapun.
Hari ini hampir dua minggu jaraknya dari senin itu. Alisia, adik saya di sini, menghampiri saya di kelas. Ia meminta untuk dibelikan frut*min, minuman ringan yang harganya dua ribu, kalau di Jawa hanya seribu. Karena memang harga semua snack di sini dua kali lipat harga di Jawa. Saya membuka dompet dan lagi-lagi tidak menemukan uang pecahan seribuan atau dua ribuan. Kali ini tidak terlalu berat saya membuka tempat koin dalam dompet saya. Ternyata ada tiga koin lima ratus, satu koin dua ratus dan tiga koin seratus. Jumlahnya genap dua ribu. Saya berikan pada Alisia. Dia menggerutu "nyanda dapat kakak beli frut*min pakai doi begitu" siswa kelas dua yang saya ajar pun menyahut "doi kertas enci, kalo doi begitu torang so nyanda pakai, lain di Manado masih tapakai, kalau di sini torang so dari lama nyanda pakai doi begitu" kata Irna. "Di sini torang kalau beli snack depe harga seribu lima ratus torang kaseh uang dua ribu enci, nanti depe sisa lima ratus kaseh gula-gula atau apa go nyanda pakai uang begitu" Etto memperjelas. "Kalau lima ratusan dua kan jumlahnya seribu? Tetap nyanda dapa beli snacka??" Tanya saya menuntut penjelasan. "Iya no enci, lebih baik itu doi kaseh pa kita jo buat mainan,hehehehehehe...." rayu Aril.
Otak saya langsung berfikir mundur. Ada dua kejadian yang seharusnya sudah menyadarkan saya bahwa uang koin tidak digunakan lagi di sini. Kejadian pertama yaitu ketika beberapa hari lalu engku Sawori teman sesama guru di kantor bilang kalau di sini uang logam lima ratus sudah tidak di pakai. Karena penguasaan bahasa daerah saya di sini terbatas terkadang berbincang dengan orang disini hanya dapat menyerap lima puluh persen isi perbincangan, dan yang lainnya hanya samar-samar. Dan saya baru sadar kalau yang dibicarakan oleh engku Sawori intinya adalah uang koin di sini sudah tidak dipakai lagi. Sebelumnya saya mengira kalau inti yang dibicarakan adalah uang koin lima ratusan di sini sudah tidak bisa digunakan untuk membeli apa-apa sehingga orang di sini tidak mau menggunakan uang koin, tapi jika saya menggunakan dua atau lebih uang koin yang jumlahnya lebih dari lima ratus tentu masih bisa.
Kejadian kedua, pada suatu pagi seminggu yang lalu, bangun tidur saya membuka kelambu jendela kamar seperti biasanya, kebetulan kamar saya berada paling depan dan memiliki jendela yang berbatasan langsung dengan teras rumah. Saat itu saya melihat beberapa uang koin berceceran di teras. Saya tidak ingat betul berapa jumlahnya. Yang paling saya ingat ada uang koin berwarna keemasan yaitu uang koin lima ratusan. Dan lainnya uang koin berwarna perak ada pecahan dua ratusan dan sisanya saya tidak ingat. Saya tidak berminat mengambilnya karena saya pikir biar ditemukan anak-anak, mereka pasti senang menemukan uang. Terutama Alisia. Keesokan paginya ketika saya membuka kelambu jendela, saya masih melihat koin yang sama. Barangkali belum ada anak yang melihat koin itu jadi tidak ada yang mengambilnya. Siangnya pada hari itu sedang ada puncak perayaan Keistus Raja dan di dekat teras banyak anak-anak yang sedang bermain sembari menunggu puncak perayaan Kristus Raja dimulai. Anak-anak itu pastinya melihat koin yang berceceran d teras. Dan saya yakin anak-anak itu pasti akan mengambilnya. Ternyata dugaan saya meleset lagi. Saya masih melihat koin itu keesokan harinya ketika membuka kelambu jendela. Akhirnya ketika saya menyapu teras, saya punguti sendiri koin-koin itu dan memberikannya pada Alisia. Ekspresi Alisia pun tidak menunjukkan kegembiraan layaknya anak-anak di Jawa ketika menemukan uang koin seperti yang saya harapkan. Koin itu hendak ia masukkan ke dalam celengan, namun papanya melarang karena hanya sekedar uang koin, untuk apa. Lagi-lagi dengan polosnya saya mengira bahwa dilarangnya Alisia memasukkan uang koin ke dalam celengan karena hanya akan memberatkan celengan saja dan nilainya juga tidak besar, layaknya di Jawa terkadang anak-anak diajarkan oleh orang tuanya untuk mengisi celengan hanya dengan uang yang nilainya besar, bukan karena uang koin sudah tidak berlaku di sini.
Dan sekarang saya hanya bisa tersenyum mengingat kejadian koin itu. Entah Kejadian pasal dan ayat berapa dalam Alkitab Perjanjian Lama yang dibaca oleh para siswa saat ibadah awal pekan itu, sehingga saya mengalami kejadian ini. ^_^

Desa Peret Pulau Kabaruan
29 November 2013
18.24 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar