Di dalam dompet saya ada beberapa
koin, entah sisa dari membeli apa saya sudah lupa dan itu tidak penting.
Seperti kebanyakan dari sebagian kita,
pasti menyiapkan tempat koin tersendiri di dalam dompet. Entah sudah berapa
lama koin itu tidak saya sentuh. Yang jelas koin itu saya bawa dari Jawa.
Seingat saya, saya tidak pernah mengeluarkan uang koin selama 2 bulan 15 hari
di Talaud ini. Dan pada suatu senin pagi waktu setempat seperti biasanya para
siswa melakukan ibadah rutin awal pekan. Biasanya saya mengikuti ibadah jika
ingin dan tidak mengikuti jika tidak ingin. Pagi itu hanya ada satu orang guru
yang mendampingi ibadah, dan saya berfikir alangkah lebih baik kalau saya turut
mendampingi. Ketika membuka dompet untuk menyiapkan uang persembahan saya tidak
menemukan pecahan seribu atau dua ribu. Saya sudah berusaha mencari di dalam
tas barangkali ada pecahan yang saya cari, ternyata nihil. Mau tukar pun belum
ada orang di kantor guru selain saya. Akhirnya dengan ragu-ragu saya membuka
dompet bagian koin. Amat sangat berat mengambil koin untuk sebuah ibadah,
seolah-olah akan memberi pengamen saja. Otak saya terus berdebat antara memberi
persembahan koin atau tidak memberi persembahan, saya malu memberi persembahan
koin, tapi apakah pantas jika seorang guru justru tidak memberikan persembahan,
sedangkan guru adalah contoh bagi para siswa. Atau sebaiknya saya ambil uang
lima puluh ribu dan mengambil kembalian sendiri dalam mangkuk persembahan
seperti para siswa yang saya lihat sering memasukkan dua ribu dan mengambil
seribu dari mangkuk persembahan. Rasanya lebih memalukan. Waktu untuk berfikir
sangat sempit dan saya harus segera memutuskan. Detik itu akhirnya saya
putuskan mengambil dua koin lima ratus rupiah terbaik yang ada dalam dompet.
Segera saya masukkan dalam saku bawah baju saya supaya tidak terlihat oleh para
siswa. Dan saya pun masuk ruang kelas satu yang dijadikan sebagai ruang ibadah.
Rangkaian ibadah dimulai, hingga pujian berjudul "ku beri
persembahan" pun dilantunkan pertanda saatnya persembahan tiba. Semua
siswa telah selesai memberi persembahan, guru yang mendampingi ibadah mulai
berdiri memberi persembahan, inilah saatnya, saya ambil bagian paling akhir.
Secara perlahan saya ambil koin dari saku dan memasukkannya ke dalam mangkuk
persembahan supaya bunyi benturan dua koin tidak terdengar. Tapi seperlahan
apapun bunyi benturan koin tetap terdengar saat saya melepasnya dari jari
tangan. Terlebih ketika seorang siswa mulai mengambil dan menghitung uang
persembahan hari ini. Bunyinya begitu nyata, sialnya lagi siswa itu justru
sengaja mengadu dua koin saya untuk dimainkan sehingga menimbulkan bunyi.
Segera saya amati reaksi para siswa dan guru pendamping ibadah. Mereka tampak
biasa saja. Hanya wajah siswa kelas enam yang saya rasa memandang saya agak
berbeda. Tapi mereka tidak tertawa. Jadi sepertinya ini aman. Saya berusaha
tidak terlihat khawatir meskipun dalam hati saya berdebar-debar, apakah yang
saya lakukan ini akan memalukan atau tidak. Senin itu pun berlalu tanpa ada
komentar dari siapapun.
Hari ini hampir dua minggu jaraknya dari senin itu. Alisia,
adik saya di sini, menghampiri saya di kelas. Ia meminta untuk dibelikan
frut*min, minuman ringan yang harganya dua ribu, kalau di Jawa hanya seribu.
Karena memang harga semua snack di sini dua kali lipat harga di Jawa. Saya
membuka dompet dan lagi-lagi tidak menemukan uang pecahan seribuan atau dua
ribuan. Kali ini tidak terlalu berat saya membuka tempat koin dalam dompet
saya. Ternyata ada tiga koin lima ratus, satu koin dua ratus dan tiga koin seratus.
Jumlahnya genap dua ribu. Saya berikan pada Alisia. Dia menggerutu "nyanda
dapat kakak beli frut*min pakai doi begitu" siswa kelas dua yang saya ajar
pun menyahut "doi kertas enci, kalo doi begitu torang so nyanda pakai,
lain di Manado masih tapakai, kalau di sini torang so dari lama nyanda pakai
doi begitu" kata Irna. "Di sini torang kalau beli snack depe harga
seribu lima ratus torang kaseh uang dua ribu enci, nanti depe sisa lima ratus
kaseh gula-gula atau apa go nyanda pakai uang begitu" Etto memperjelas.
"Kalau lima ratusan dua kan jumlahnya seribu? Tetap nyanda dapa beli
snacka??" Tanya saya menuntut penjelasan. "Iya no enci, lebih baik
itu doi kaseh pa kita jo buat mainan,hehehehehehe...." rayu Aril.
Otak saya langsung berfikir mundur. Ada dua kejadian yang
seharusnya sudah menyadarkan saya bahwa uang koin tidak digunakan lagi di sini.
Kejadian pertama yaitu ketika beberapa hari lalu engku Sawori teman sesama guru
di kantor bilang kalau di sini uang logam lima ratus sudah tidak di pakai.
Karena penguasaan bahasa daerah saya di sini terbatas terkadang berbincang
dengan orang disini hanya dapat menyerap lima puluh persen isi perbincangan,
dan yang lainnya hanya samar-samar. Dan saya baru sadar kalau yang dibicarakan
oleh engku Sawori intinya adalah uang koin di sini sudah tidak dipakai lagi.
Sebelumnya saya mengira kalau inti yang dibicarakan adalah uang koin lima
ratusan di sini sudah tidak bisa digunakan untuk membeli apa-apa sehingga orang
di sini tidak mau menggunakan uang koin, tapi jika saya menggunakan dua atau
lebih uang koin yang jumlahnya lebih dari lima ratus tentu masih bisa.
Kejadian kedua, pada suatu pagi seminggu yang lalu, bangun
tidur saya membuka kelambu jendela kamar seperti biasanya, kebetulan kamar saya
berada paling depan dan memiliki jendela yang berbatasan langsung dengan teras
rumah. Saat itu saya melihat beberapa uang koin berceceran di teras. Saya tidak
ingat betul berapa jumlahnya. Yang paling saya ingat ada uang koin berwarna
keemasan yaitu uang koin lima ratusan. Dan lainnya uang koin berwarna perak ada
pecahan dua ratusan dan sisanya saya tidak ingat. Saya tidak berminat
mengambilnya karena saya pikir biar ditemukan anak-anak, mereka pasti senang
menemukan uang. Terutama Alisia. Keesokan paginya ketika saya membuka kelambu
jendela, saya masih melihat koin yang sama. Barangkali belum ada anak yang
melihat koin itu jadi tidak ada yang mengambilnya. Siangnya pada hari itu
sedang ada puncak perayaan Keistus Raja dan di dekat teras banyak anak-anak
yang sedang bermain sembari menunggu puncak perayaan Kristus Raja dimulai.
Anak-anak itu pastinya melihat koin yang berceceran d teras. Dan saya yakin
anak-anak itu pasti akan mengambilnya. Ternyata dugaan saya meleset lagi. Saya
masih melihat koin itu keesokan harinya ketika membuka kelambu jendela.
Akhirnya ketika saya menyapu teras, saya punguti sendiri koin-koin itu dan
memberikannya pada Alisia. Ekspresi Alisia pun tidak menunjukkan kegembiraan
layaknya anak-anak di Jawa ketika menemukan uang koin seperti yang saya
harapkan. Koin itu hendak ia masukkan ke dalam celengan, namun papanya melarang
karena hanya sekedar uang koin, untuk apa. Lagi-lagi dengan polosnya saya
mengira bahwa dilarangnya Alisia memasukkan uang koin ke dalam celengan karena
hanya akan memberatkan celengan saja dan nilainya juga tidak besar, layaknya di
Jawa terkadang anak-anak diajarkan oleh orang tuanya untuk mengisi celengan
hanya dengan uang yang nilainya besar, bukan karena uang koin sudah tidak
berlaku di sini.
Dan sekarang saya hanya bisa tersenyum mengingat kejadian
koin itu. Entah Kejadian pasal dan ayat berapa dalam Alkitab Perjanjian Lama
yang dibaca oleh para siswa saat ibadah awal pekan itu, sehingga saya mengalami
kejadian ini. ^_^
Desa Peret Pulau Kabaruan
29 November 2013
18.24 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar