Sabtu, 14 Maret 2015

Puisi Gie

Saya mengenalnya saat SMA kelas XII tahun 2007-2008 melalui filmnya. Setelah menyaksikan filmnya, saya berkesempatan membaca bukunya. Itulah awal mula mengaguminya. 
 
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Berikut adalah puisi-puisinya:
MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
====================================================
“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie
SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
====================================================
PESAN
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
====================================================
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
Akhir perjalanan Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
sumber: berbagai sumber

Selasa, 10 Maret 2015

Jelang Eksekusi, Myuran Kembali Melukis Wajah Jokowi

Di Publish Pada Tanggal : Rabu, 04 Maret 2015 12:01 WIB 
Sumber : http://harianterbit.com/hanterdaerah/read/2015/03/04/21189/20/20/Jelang-Eksekusi-Myuran-Kembali-Melukis-Wajah-Jokowi
  Lukisan Wajah Jokowi
Jakarta, HanTer - Myuran Sukumaran, terpidana mati kasus narkoba dikenal dengan julukan duo Bali Nine selama di LP Krobokan banyak menghabiskan waktunya dengan melukis.

Pengacara Myuran Sukumaran, Todung Mulya Lubus mengatakan selama di LP Krobokan klien mengisi hari-harinya dengan melukis.

Sejumlah tokoh, kata Todung sudah dilukis warga Australia keturunan India tersebut, termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Jaksa Agung HM Prasetyo.

Kata Todung, Myuran saat ini tengah dalam proses melukis sosok Presiden ke-7 RI. Sementara gambar Prasetyo sudah rampung ditorehkannya.

"Saat saya bertemu Sukumaran di Bali. Ia sangat suka melukis. Dia sudah melukis gambar dari (jaksa agung) Prasetyo," kata Todung.

"Dia juga dalam proses menggambar Presiden Jokowi. Lukisan-lukisannya bagus," imbuh dia.

(Ris)

Minta Pengampunan, Myuran Sukumaran Lukis Potret Presiden Jokowi

Selasa, 10/03/2015 20:03 WIB
Sumber : Australia Plus ABC - detikNews


Jakarta - Terpidana mati kasus Bali Nine asal Australia, Myuran Sukumaran, telah mengajukan pengampunan secara pribadi kepada Presiden Joko Widodo, dengan melukis potret Presiden Indonesia itu dan menandatanganinya dengan kata-kata ‘manusia bisa berubah'.

Sukumaran mengomandani studio seni untuk sesama tahanan selama ia mendekam di penjara Kerobokan, tempat di mana ia dibimbing oleh seniman perang Ben Quilty, sejak tahun 2012.

Baru-baru ini, Sukumaran dianugerahi gelar sarjana kehormatan dalam bidang seni rupa oleh Universitas Curtin.



Ia melukis potret Presiden Jokowi di penjara Kerobokan pada akhir Januari, dalam beberapa pekan terakhir sebelum dipindahkan ke pulau Nusakambangan.

Sukumaran dan sesama pemimpin geng Bali Nine, Andrew Chan, telah menghabiskan seminggu di pulau itu, tempat di mana mereka menunggu hasil peninjauan terhadap eksekusi mati atas kasus penyelundupan heroin.

Konsul Jenderal Australia di Bali, Majell Hind, hari ini (10/3) mengunjungi para terpidana mati untuk memeriksa kondisi mereka.

Itu adalah perjalanan ketiganya ke Nusakambangan sejak Chan dan Sukumaran dipindahkan dari Bali, Selasa (3/3) lalu.

Kedua tahanan dilaporkan dalam kondisi baik.

Keluarga Sukumaran dan Chan mengunjungi mereka untuk pertama kalinya di pulau itu kemarin (9/3),dan akan melakukannya lagi esok (11/3).

Chan dan Sukumaran berada di antara 10 terpidana mati yang tengah menunggu kepastian waktu eksekusi mereka.

Beberapa dari mereka masih mengupayakan banding secara hukum, yang sedang berlangsung di pengadilan Indonesia, dan meskipun Jaksa Agung mengatakan persiapan eksekusi hampir siap, eksekusi sendiri tak akan terjadi hingga seluruh proses hukum terpidana selesai.

TUHAN SUDAH MATI: Sebuah Telaah Pemikiran Nietzsche Mengenai Eksistensi Tuhan


Sumber : https://godforsakenarab.wordpress.com/2013/03/10/tuhan-sudah-mati-sebuah-telaah-pemikiran-nietzsche-mengenai-eksistensi-tuhan/

  1. 1.      Pengantar
Revolusi industri di Inggris dan kemudian revolusi Prancis menumbuhkan cara pandang baru manusia tentang Tuhan, dunia, manusia sendiri maupun semua yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Filsafat juga hadir secara baru. Descartes mendahului dengan cogito ergo sum-nya yang kemudian memunculkan filsafat modern. Setelah Descartes, muncul lagi seorang nabi di dunia filsafat yang meramalkan runtuhnya hegemoni kekristenan di Eropa. Dialah Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi tokoh utama munculnya pembaruan dari filsafat modern menuju filsafat post-modern. Sumbangannya di dunia filsafat tidak perlu diragukan lagi. Mungkin, tidak ada filsuf yang lebih terkenal daripada Nietzsche. Pemikirannya yang radikal dan kontroversial  manjadi perbincangan hangat yang tidak ada habisnya.
Salah satu pemikirannya yang mengubah cara pandang para pemikir filsafat adalah konsep Tuhan sudah mati. Pemikiran tersebut merupakan hal yang baru karena menjadi pendobrak konsep lama yang didominasi oleh cara berpikir Kristen. Para ahli menyebut Nietzsche sebagai seorang penganut nihilisme. Nihilisme merupakan pendirian atau paham yang berporos pada ‘tiada apa-apa pun’.[1] Seperti kaum nihilis yang lain, Nietzsche berpandangan bahwa diperlukan adanya sebuah “kehancuran” total untuk suatu perbaikan.
  1. 2.      Latar Belakang pemikiran Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada tanggal 15 Oktober 1844. Dia lahir dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang saleh.  Ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia sendiri diproyeksikan mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi pendeta.
Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran di kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno.
Dia meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Studinya tersebut kemudian terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta untuk menunaikan wajib militer. Lalu, karena jatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya. Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai kelahiran kembali seni Yunani Kuno.
Sekitar tahun 1869, dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di masa itu jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi kemahsyuran Wagner.[2] Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan beberapa karya.
Yang disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez, sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.
  1. 3.      Nietzsche Sang Pembunuh Tuhan
Nietzsche adalah filsuf unik yang berpikir secara unik dan menyampaikannya secara unik pula. Keunikannyalah yang membuat dia menjadi begitu istimewa bagi dunia filsafat. Pemikirannya tak pernah dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupannya. Bahkan, tanpa ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya di dalam tulisannya. Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra. Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah tunggal.
pemikiran Nietzsche mengenai kematian Tuhan sendiri terdapat pada sebagian karya-karyanya. Salah satu tulisannya yang terkenal mengenai hal itu terdapat pada bukunya, the  gay science (ilmu kebahagiaan). Di dalam ceritanya, seseorang yang gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan.
Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “ Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” – Ketika banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut pada kita? Apakah dia orang yang baru saja mengadakan pelayaran? Seorang perantau? — Maka mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
            Orang gila itu melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana Tuhan?” dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, Kita telah MembunhNya — Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya… Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati…”
            … “aku telah datang terlalu awal.” Dia kemudian mengatakan: “waktuku belum datang. Peristiwa besar ini masuh terus berjalan, masih berkeliaran; ini belum mencapai telinga-teling manusia…”
            Telah diceritakan lebih lanjut pada hari yang sama orang gila itu memaksa masuk ke dalam beberapa gereja dan di sana menyanyikan requiem aeternam Deo….[3]
Amat penting untuk disampaikan di sini tentang pemikiran dasar Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi. Ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai Tuhan. Manusia tidak mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya, Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas.
3.1.Arti Kematian Tuhan
Tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis.[4] Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan.
Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang pertama.[5]
Yang kedua, kesadaran Yahudi  menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih.[6]
Arti ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. [7] Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita.
Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya.[8] Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan.[9] Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan.[10] Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.[11]
3.2.Ubermensch dan Moralitas Tuan-Budak
Dengan tidak adanya kehadiran Tuhan di dalam hidup kita. Nietzsche menginginkan kita hidup bukan sebagai budak yang takut akan tuannya melainkan menjadi tuan itu sendiri. Untuk kesempurnannya, Nietzsche memakai istilah Ubermensch. Ubermensch di sini tidak dimaksudkan sama dengan superman yang berkonotasi stagnan melainkan memakai istilah overman, yang berkelanjutan dan di dalam proses menjadi. Ubermensch adalah istilah yang terdapat di dalam buku Also Sprach Zarathustra. Di dalam Bahasa Indonesia, mengikuti istilah yang dipakai oleh Budi Hardiman, Ubermensch diartikan dengan kata “manusia atas”.[12]
Manusia atas adalah manusia yang unggul yang lebih dari manusia lainnnya. Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang menganjurkan sikap durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan menjadikannya kawanan.[13] Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah ada yang bisa mencapainya.
Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk mencapai manusia atas[14]. Perubahan kepada manusia atas harus didahului oleh sikap manusia yang kritis dan mengadakan transvaluasi, penjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada sampai akhirnya manusia itu mampu menentukan nilai-nilainya sendiri.[15] Manusia atas selalu mengakui dirinya sendiri sebagai der Wille-zur-Macht dan tidak menutupinya dengan kedok.[16]
3.3.Kehendak Berkuasa
Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (Will to power).[17] Kehendak berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam pengetahuan. Bukan saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan tetapi tujuan manusia atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain dirinya sendiri. Kehendak berkuasa harus secara tegas melampaui manusia. Pemikiran ini adalah cara bagi Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas dan menggantinya dengan konsep Ubermensch di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri.[18]
Sekilas tampak bahwa manusia atas adalah manusia egois yang mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak sependapat. Menurut Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain atau mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis.[19] Nietzsche menyebut hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis akan kekuasaan.”[20]
Pengertian yang ditekankan Nietzsche dari kehendak berkuasa adalah lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu adalah suatu kedalaman eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia harus berusaha habis-habisan mencapai tujuannya.[21] Dan itu tidak menggunakan insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh.[22]

  1. Kritik terhadap Nietzsche
Filsafat Nietzsche tidak lepas dari keadaan zamannya. Kebencian Nietszsche akan agama muncul  setelah melihat kenyataan bahwa agama waktu itu hanya sebagai pelarian kita dari masalah yang ada di dunia nyata. Bisa dilihat di sini bahwa Nietzsche mengabaikan aspek yang lain dan tidak seimbang di dalam memahami agama yang benar. Sepertinya, kebencian telah terlalu banyak berpengaruh pada teorinya.
Tuhan yang “dibunuh” Nietzsche lebih mirip Tuhan psikologi. Dia sama sekali tidak menyentuh eksistensi Tuhan. Dia hanya melihat Tuhan dari konsep manusia tanpa mampu menerobos batas transendensi Tuhan. Hal ini dapat dimengerti karena Nietzsche telah melanggar batas disiplin ilmunya. Dia tidak membedakan antara Tuhan psikologis dengan Tuhan yang filosofis.
Ubermensch yang diungkapkan oleh Nietzsche tampak sebagai sesuatu yang utopis belaka karena dia sendiri mengakui belum ada manusia yang bisa dianggap sebagai Ubermensch. Dia juga terlalu radikal dengan menyebut Ubermensch bisa ada jika manusia terlebih dulu mengadakan transvaluasi atas nilai-nilai yang ada untuk bisa mendapatkan nilainya sendiri. Dia mengabaikan aspek manusia di dalam relasinya dengan sesama. Nilai yang secara pribadi dihidupi justru bisa menjadi bencana bagi umat manusia karena tak ada sebuah peraturan yang dijalankan sebagai suatu kesepakatan. Lagipula menurut Nietzsche sifat dari kebenaran adalah jamak.
  1. 5.      Relevansi dan Penutup
Ateisme, telah kita ketahui bersama, telah mulai menjalari masyarakat hampir di semua tempat. Ateisme di sini tentu saja bukan saja ateisme secara definitif melainkan juga ateis praktis. Semakin banyak orang tak lagi “wedi-asih” kepada Tuhan. Hal ini bisa dilihat lewat kenyataan sekarang ini bahwa masyarakat mengalami degradasi moral. Pembunuhan, peperangan, aborsi, korupsi, dan kesenjangan sosial kaya-miskin menjadi tema-tema utama pemberitaan media massa.
Agama akan menjadi sasaran empuk bagi kaum anti-agama. Di masa itu, persaingan bukan lagi antar agama sendiri tetapi jauh lebih berat ketika berhadapan dengan para kritikus agama tersebut. Di wilayah yang pengaruh agamanya masih kuat seperti di Indonesia ini, kita masih bisa nyaman dengan kehidupan beragama kita. Tetapi tidak demikian jika kita berada di Eropa. Kita harus senantiasa memperbarui kualitas iman kita terutama karena kita adalah calon imam. Selain itu kita juga harus tetap terbuka terhadap kritik demi membangun iman yang lebih mendalam.
Hidup di negara dengan agama masih mendapat tempat utama seperti di Indonesia ini, seakan-akan meninabobokan kita. Kita menjadi tidak sadar bahaya yang mengintai kita. Ketaatan yang saleh terhadap agama bisa menjadi kedok bagi kurangnya sikap kritis akan iman. Tentu saja akan menjadi bumerang bagi kita. Salah satunya adalah adanya gerakan terorisme yang didasarkan pada kepercayaan fanatis mudah dijadikan alat untuk kepentingan tertentu.
Untuk kita, pemahaman yang salah akan iman kristiani menjadi sasaran kritik Nietzsche. Bukan tidak mungkin, jika kita, orang Kristen terus ditidurkan oleh setiap aturan, dogma maupun doktrin Gereja tanpa sikap kritis, akan ada Nietzsche lain yang lebih mengerikan yang akan mengritik kita. Kita harus menjadi orang beragama yang kritis yang tidak mudah digoyahkan oleh tantangan dari luar.
Lebih dari sekedar orang Kristen, kita juga calon imam. Kita dipersiapkan menjadi pemimpin Gereja di masa mendatang. Kebijakan-kebijakan dibuat sedemikian rupa untuk membentuk kita sebagai manusia yang utuh dan unggul secara rohani. Tetapi kita juga harus bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita melakukan setiap program yang ada di seminari sebagai seorang ubermensch atau moralitas budak yang serba takut yang hidup di dalam diri kita.
Ubermensch yang dikatakan Nietzsche adalah manusia atas yang senantiasa berjuang demi suatu nilai yang terintegrasi di dalam dirinya. Pengertian ini bukan berarti kita harus menentang setiap aturan yang ada, tetapi bagaimana kita bisa menghidupi nilai-nilai yang ada di Seminari ini. Hal itu tidaklah mudah, jangan sampai kita justru terjebak pada sikap munafik. Ubermensch selalu berusaha habis-habisan untuk mengembangkan dirinya bukan hanya demi memuaskan formator tetapi demi tujuan yang lebih besar yang kita perjuangkan.
            Sebagai seorang calon imam yang sedang di dalam proses formatio, kita harus menimba ilmu dan mengolah diri secara serius. Hal ini bukan saja untuk diri kita sendiri melainkan juga untuk umat. Jika tidak demikian, kita hanya akan menjadi batu sandungan bagi umat nantinya. Kritik Nietzsche bisa menjadi masukan bagi kita dan iman kita. makalah ini akan ditutup dengan sebuah ungkapan dari Nietzsche. “membuat orang gelisah, itulah tugas saya.”[23]




Daftar Pustaka

Sunardi, St.,
1996, Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta.
Deleuze, Gilles,
2002, Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta.
Budi Hardiman, F.,
2007, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta.
Neusch, Marcel,
“Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 2004, 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta.
Sautet, Marc,
2001, Nietzsche untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta.
Akhmad Santosa,
2009, Nietzsche Sudah Mati, Kanisius, Yogyakarta.
A. Mangunhardjana,
1997, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta,

[1]  A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta, 1997, 162.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2007, 260.
[3]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  145. Mengutip dari  Friedrich Nietzsche, The Gay Science, translated by W. Kauffman (New York: Random House Vintage Books, 1974), no. 132, hal. 186.
[4]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, 214.
[5]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 215.
[6]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 216.
[7]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 216.
[8]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[9]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[10]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[11]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[12]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[13]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[14]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[15]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[16]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[17]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  156.
[18]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  156.
[19]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[20]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[21]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[22]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 158.
[23]  St. Sunardi, Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta,1996, 21.

Friedrich Nietzsche

Tuhan sudah mati
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan ungkapan ini. Gagasan ini dinyatakan oleh 'The Madman' sebagai berikut:
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125

Penjelasan

"Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harafiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya.... Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatupun yang tinggal di tangannya."[1] Inilah sebabnya mengapa di dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."[2]

Kemungkinan-kemungkinan baru

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.

Suara Nietzsche

Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila" dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:
Kejadian yang aneh ini masih berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
Sebelumnya dalam buku itu (seksi 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pua." Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:
'Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?' tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku memuji tuhan yang adalah tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah aku pergi dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian mereka berpisah, si orang tua dan lelaki itu, sambil tertawa seperti dua anak lelaki tertawa. Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'
terj. Walter Kaufmann, Thus Spoke Zarathustra, Prolog, seksi 2.
Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni, Tuhan sudah mati, Hegel arangkali adalah filsuf besar pertama yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan. Menurut Hegel, bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant, Heinrich Heine berbicara tentang Tuhan yang sedang sekarat. Heine memengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan Kematian Tuhan menjadi populer. (K. Satchidananda Murty, The Realm of Between, IIAS,1973)

Gerakan Kematian Tuhan (Teologi)


Sebuah laporan utama majalah Time (8 April 1966) tentang agama di Amerika bertanya "Apakah Tuhan sudah mati?" Terbitan ini kemudian menjadi salah satu edisi Time' yang paling kontroversial.
Sampul majalah Time 8 April 1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an, dikenal sebagai "kematian Tuhan". Gerakan Kematian Tuhan kadang-kadang secara teknis disebut sebagai "teotanatologi."
Tokoh penganjur utama teologi ini termasuk para teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J. J. Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein.
Pada 1961 buku Vahanian The Death of God (Kematian Tuhan) diterbitkan. Vahanian berpendapat bahwa budaya sekular yang modern telah kehilangan semua rasa tentang yang suci, tidak memiliki makna sakramental apapun, tidak mempunyai tujuan transendental ataupun rasa bahwa hidup manusia dipelihara oleh Tuhan. Ia menyimpulkan bahwa bagi pikiran modern, "Tuhan sudah mati", tetapi ia tidak memaksudkan bahwa Tuhan tidak ada lagi. Dalam visi Vahanian, manusia membutuhkan suatu budaya pasca-Kristen dan pasca-modern yang telah ditransformasikan, untuk menciptakan suatu pengalaman yang baru tentang yang ilahi.
Baik Van Buren maupun Hamilton sama-sama sepakat bahwa konsep transendensi telah kehilangan tempatnya yang bermakna dalam pikiran moden. Menurut norma-norma pemikiran modern kontemporer, Tuhan sudah mati. Dalam menanggapi keruntuhan transendensi ini, Van Buren dan Hamilton menawarkan masyarakat sekular pilihan tentang Yesus sebagai manusia teladan yang bertindak di dalam cinta kasih. Perjumpaan dengan Kristus dari iman akan terbuka dalam sebuah komunitas gereja.
Altizer menawarkan sebuah teologi radikal tentang kematian Tuhan yang meminjam dari gagasan-gagasan William Blake, pemikiran Hegelian dan gagasan Nietzschean. Ia mengkonsepsikan teologi sebagai suatu bentuk puisi di mana imanensi (kehadiran) Tuhan dapat dijumpai dalam komunitas-komunitas iman. Namun, ia tidak lagi menerima kemungkinan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden. Bagi Altizer, Tuhan telah menjelma di dalam Kristus dan telah memancarkan rohnya yang imanen yan tetap ada di dunia meskpun Yesus mati.
Rubenstein mewakili sisi radikal dari pemikiran Yahudi yang bergumul melalui dampak Holocaust. Dalam pengertian teknis ia mengatakan, berdasarkan Kabbalah, bahwa Tuhan telah "mati" dalam menciptakan dunia. Namun, bagi budaya Yahudi modern, ia berpendapat bahwa kematian Tuhan terjadi di Auschwitz. Dalma karya Rubenstein, kita tidak mungkin lagi percaya kepada Allah dari perjanjian Abrahamik. Ia merasa bahwa satu-satunya kemungkinan yang tersisa bagi orang Yahudi adalah menjadi orang kafir, atau menciptakan makna mereka sendiri.

Rujukan dalam budaya populer

Musik

  • "Dio è morto" (Tuhan sudah mati, bahasa Italia) adalah judul dari sebuah nyanyian Italia terkenal yang ditulis oleh pengarang lagu Francesco Guccini yang menjadi hit bagi band Italia Nomadi pada 1965
  • Jembatan dari lagu Elton John tahun 1972, "Levon", dengan liriknya karya Bernie Taupin mengandung kata-kata yang berbunyi "New York Times mengatakan Tuhan sudah mati".
  • Band populer MTVmo Senses Fail menyebutkan bahwa mereka ingin mati "Seperti tuhan di sampul Time" dalam salah satu lagu mereka.
  • "Aku menginginkan Tuhan yang tetap mati ... bukan yang pura-puar mati" adalah baris pertama dari refrain lagu Nietzsche oleh The Dandy Warhols.
  • "Tuhan sudah Mati" adalah juga sebuah lagu instrumental oleh Midtown dalam album 2004 mereka Forget What You Know (Lupakan yang anda ketahui)
  • Lagu Manic Street Preachers 2004 song "1985" mengandung refrain yang berbunyi "Jadi Tuhan sudah mati, seperti yang dikatakan Nietzsche/Hanya takhyul yang tersisa pada kita". Sebuah refrain lainnya belakangan mengubah kata-kata ini hingga merujuk kepada sesuatu yang kemungkinan diucapkan oleh seorang teman kepada si penulis lagunya pada 1985.
  • "Gott ist tot (Tuhan sudah Mati!)" adalah judul sebuah lagu oleh band gelombang hitam Jerman Das Ich.
  • Ungkapan "Gott ist tot!" digunakan dalam lagu "Willst du Hoffnung?" (Anda menginginkan pengharapan?) dan "Der neue Gott" (Tuhan yang baru) oleh kelompok Jerman OOMPH!.
  • "Gott ist Tot" juga merupakan lagu dalam babak pertama dari pertunjukan musik Jim Steinman Tanz der Vampire.
  • "Tuhan belum Mati?" adalah judul sebuah lagu oleh Extreme, yang ditampilkan dalam album III Sides To Every Story.
  • Banyak lagu oleh David Bowie juga memainkan rujukan kepada "Übermensch" Nietzsche, seperti misalnya "Quicksand" yang di dalamnya Bowie menyanyikan "Knowledge comes with death's release" (Pengetahuan datang dengan pembebasan maut) dan "Just a mortal with potential of a superman" (Sekadar makhluk fana dengan kemungkinan menjadi seorang superman).
  • "Tuhan sudah Mati" dapat juga dilihat dalam monitor komputer Morlock the Elf dalam film pendek independen "A Merry Christmassacre."
  • "Tuhan sudah Mati, kami adalah pemenangnya" adalah ungkapan dalam lagu Sin Society oleh proyek elektro-industri Jerman C-Drone-Defect.
  • Maniac, bekas penyanyi Black Metal Band Mayhem menggunakan ungkapan 'Tuhan sudah mati' setiap kali band itu memainkan lagu 'Fall of Seraphs' dalam konser-konser mereka.

Penggunaan lainnya

  • "Tuhan sudah mati" diserukan oleh John Proctor dalam The Crucible.
  • Kematian Tuhan yang sungguh-sungguh, secara fisik, merupakan bahan telaah James Morrow dalam Godhead Trilogy
  • Dalam Rosemary's Baby, yang ditulis oleh Ira Levin, Rosemary melihat sebuah kopi majalah Time dengan tulisan pada sampulnya "Benarkah Tuhan sudah mati?" di ruang tunggu dokter kandungannya. Kemudian tetangga-tetangganya dan orang-orang lainnya di bioskop berseru, "Tuhan sudah mati".
  • Phillip K. Dick menyebutkan sepintas dalam salah satu cerita pendeknya bahwa jenazah seorang makhluk raksasa telah ditemukan melayang-layang di angkasa luar menjauhi planet Bumi.
  • Sebuah sketsa komedi Kids in the Hall menampilkan sebuah laporan berita gaya tahun 1950-an yang menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya mati, teapi bahwa jenazahnya telah ditemukan dan ternyata penampilan tubuhnya sangat kecil.
  • Drama televisi The Second Coming (TV) berakhir dengan Tuhan yang sedang sekarat, dengan maksud menakut-nakuti umat manusia agar meerka sungguh-sungguh menjalani kehidupan mereka dengan baik, dan untuk menyingkirkan hukuman kekal di neraka.
  • Jesus Christ Supercop, sebuah seri parodi/komedi yang terdiri atas enam episode, menampilkan Nietzsche dan Yesus (yang merasa kecewa terhadap Nietzsche karena ia telah membunuh bapaknya.).
  • Pada 1950, kaum Lettris (pra-Situasionisme Situasionis) menerjang masuk ke Katedral Notre Dame sementara Misa Paskah sedang berlangsung, menculik seorang pastor dan mencuri jubahnya. Seorang anggota kelompok itu naik ke mimbar dan mengumumkan kepada umat yang mengikuti Misa (sekitar 40.000 orang) "Frères, Dieu est mort" ("Saudara-saudara, Tuhan sudah mati" dalam bahasa Perancis). Ia kemudian mulai menguraikan implikasi religius dan moralnya sebelum umat meledak ke dalam kerusuhan.
  • Menjelang klimaks trilogi Philip Pullman His Dark Materials, Will dan Lyra secara tidak disadari meleepaskan Tuhan dari penjara perlindungannya dan mengizinkannya untuk akhirnya mati.
  • Dalam novel Joseph Heller Catch-22, sang tokoh Dunbar seringkali mengatakan, "Tuhan sudah mati."
  • Salah satu band Death Metal asal Indonesia Forgotten memiliki lagu dengan judul "Tuhan telah mati".

Kutipan

  • "Tuhan sudah mati: karena rasa kasihan-Nya terhadap manusia Tuhan sudah mati."
  • "Tuhan yang melihat semuanya, DAN JUGA MANUSIA: Tuhan itu harus mati! Manusia tidak dapat TAHAN terhadap-Nya bahwa saksi seperti itu harus tetap hidup."
  • "Tuhan sudah mati. Janganlah dengan demikian kita menganggap bahwa Ia tidak ada atau bahkan Ia tidak ada lagi. Ia sudah mati. Ia berbicara kepada kita sebelumnya dan kini membisu. Kita tidak punya apa-apa lagi, kecuali jasad-Nya. Mungkin Ia menyelinap keluar dari dunia, dan kini ada di suatu tempat lain, seperti jiwa seorang yang telah mati. Mungkin Ia hanyalah sebuah mimpi ... Tuhan sudah mati."Jean-Paul Sartre
  • Nietzsche: "Tuhan sudah mati" Tuhan: "Nietzsche sudah mati" (Sebuah lelucon populer yang sering ditemukan dicoret-coretkan di dinding, khususnya di kota-kota universitas. Variannya: "Tuhan sudah mati, Nietzsche sudah mati dan saya sendiri merasa agak tidak enak badan.")

Rujukan

  • Kaufmann, Walter. Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist. Princeton: Princeton University Press, 1974
  • Roberts, Tyler T. Contesting Spirit: Nietzsche, Affirmation, Religion Princeton University Press, 1998

Catatan

  1. ^ terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale; Twilight of the Idols, Expeditions of an Untimely Man, bag. 5
  2. ^ terj. Hollingdale; Daybreak, Preface, seksi 1

Teologi Tuhan Sudah Mati

  • Thomas J. J. Altizer, The Gospel of Christian Atheism (Philadelphia: Westminster, 1966).
  • Thomas J. J. Altizer and William Hamilton, Radical Theology and the Death of God (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1966).
  • Bernard Murchland, ed., The Meaning of the Death of God (New York: Random House, 1967).
  • Gabriel Vahanian, The Death of God (New York: George Braziller, 1961).
 

Sabtu, 07 Maret 2015

Quote Today

"Sesuatu yang baik berasal dari sumber yang baik" "If you don't want to be forgotten when you're dead, write something worth to read or do something that worth to be written"

Selasa, 03 Maret 2015

Malam Pertama

Selamat datang di Univesitas Negeri Yogyakarta. Selamat datang di Rusunawa Wates Kulonprogo. Habitat untuk 365 hari ke depan. Kulonprogo Senin, 2 Maret 2015 23:30