- 1. Pengantar
Revolusi industri di Inggris dan kemudian revolusi Prancis
menumbuhkan cara pandang baru manusia tentang Tuhan, dunia, manusia
sendiri maupun semua yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Filsafat
juga hadir secara baru. Descartes mendahului dengan
cogito ergo sum-nya
yang kemudian memunculkan filsafat modern. Setelah Descartes, muncul
lagi seorang nabi di dunia filsafat yang meramalkan runtuhnya hegemoni
kekristenan di Eropa. Dialah Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi tokoh utama munculnya pembaruan dari filsafat modern menuju filsafat
post-modern.
Sumbangannya di dunia filsafat tidak perlu diragukan lagi. Mungkin,
tidak ada filsuf yang lebih terkenal daripada Nietzsche. Pemikirannya
yang radikal dan kontroversial manjadi perbincangan hangat yang tidak
ada habisnya.
Salah satu pemikirannya yang mengubah cara pandang para pemikir filsafat adalah konsep
Tuhan sudah mati.
Pemikiran tersebut merupakan hal yang baru karena menjadi pendobrak
konsep lama yang didominasi oleh cara berpikir Kristen. Para ahli
menyebut Nietzsche sebagai seorang penganut nihilisme. Nihilisme
merupakan pendirian atau paham yang berporos pada ‘tiada apa-apa pun’.
[1] Seperti kaum nihilis yang lain, Nietzsche berpandangan bahwa diperlukan adanya sebuah “kehancuran” total untuk suatu perbaikan.
- 2. Latar Belakang pemikiran Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada
tanggal 15 Oktober 1844. Dia lahir dari sebuah keluarga Protestan
Lutheran yang saleh. Ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang
meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia sendiri diproyeksikan
mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi pendeta.
Pada tahun 1854, Nietzsche masuk
Gymnasium di kota Naumburg,
namun empat tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah
asrama Lutheran di kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak
sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia juga tertarik dengan
kebudayaan Yunani Kuno.
Dia meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama
teman-temannya dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig.
Studinya tersebut kemudian terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta
untuk menunaikan wajib militer. Lalu, karena jatuh dari kudanya dan
terluka, dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi. Pada inilah dia
berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman yang nantinya akan
berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan itulah yang
kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya. Pada
periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai
kelahiran kembali seni Yunani Kuno.
Sekitar tahun 1869, dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu
usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk
menjadi seorang ateis. Di masa itu jugalah hubungan dengan Wagner
semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi kemahsyuran Wagner.
[2]
Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah
periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan
beberapa karya.
Yang disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan
kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia
sakit-sakitan dan kesepian. Dia mengalami ketegangan mental. Nietzsche
terobsesi untuk selalu menyanjung dirinya. Pada bulan Januari 1889,
Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku sebagai orang-orang terkenal
dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez, sampai bahkan mengaku
sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam kesepiannya di
Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena
Pneumonia.
- 3. Nietzsche Sang Pembunuh Tuhan
Nietzsche adalah filsuf unik yang berpikir secara unik dan
menyampaikannya secara unik pula. Keunikannyalah yang membuat dia
menjadi begitu istimewa bagi dunia filsafat. Pemikirannya tak pernah
dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupannya. Bahkan, tanpa
ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya di dalam tulisannya.
Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik sastra
menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu
memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi
Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat
sastra. Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural
tidak pernah tunggal.
pemikiran Nietzsche mengenai kematian Tuhan sendiri terdapat pada
sebagian karya-karyanya. Salah satu tulisannya yang terkenal mengenai
hal itu terdapat pada bukunya
, the gay science
(ilmu kebahagiaan). Di dalam ceritanya, seseorang yang gila datang ke
sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan.
Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera
di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan
terus-menerus berteriak: “ Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” –
Ketika banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan berdiri
di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang
yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak
kecil? Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut
pada kita? Apakah dia orang yang baru saja mengadakan pelayaran?
Seorang perantau? — Maka mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu melompat ke tengah kerumunan dan
menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana Tuhan?” dia berteriak: “Aku
akan menceritakan pada kalian, Kita telah MembunhNya — Kalian dan aku.
Kita semua adalah pembunuhnya… Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati…”
… “aku telah datang terlalu awal.” Dia kemudian
mengatakan: “waktuku belum datang. Peristiwa besar ini masuh terus
berjalan, masih berkeliaran; ini belum mencapai telinga-teling manusia…”
Telah diceritakan lebih lanjut pada hari yang sama
orang gila itu memaksa masuk ke dalam beberapa gereja dan di sana
menyanyikan requiem aeternam Deo….[3]
Amat penting untuk disampaikan di sini tentang pemikiran dasar
Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi. Ketika
kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di dalam dunia nyata yang
ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai Tuhan. Manusia tidak
mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang
hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya,
Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang
merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas.
3.1.Arti Kematian Tuhan
Tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “
mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis.
[4]
Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait
dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah,
Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan.
Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran
Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus
adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian
disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan
mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi.
Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan
lahir kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti
kematian Tuhan yang pertama.
[5]
Yang kedua, kesadaran Yahudi menginginkan Tuhan yang lebih
universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi
keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih
dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih
universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama
mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih.
[6]
Arti ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani.
Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang
banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran.
Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar hutang
Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan
mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan
demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita
menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut
dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri.
[7] Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita.
Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan
atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya.
[8]
Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri
akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan.
[9]
Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang
sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya
dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan.
[10] Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.
[11]
3.2.Ubermensch dan Moralitas Tuan-Budak
Dengan tidak adanya kehadiran Tuhan di dalam hidup kita. Nietzsche
menginginkan kita hidup bukan sebagai budak yang takut akan tuannya
melainkan menjadi tuan itu sendiri. Untuk kesempurnannya, Nietzsche
memakai istilah
Ubermensch.
Ubermensch di sini tidak dimaksudkan sama dengan superman yang berkonotasi
stagnan melainkan memakai istilah
overman, yang berkelanjutan dan di dalam proses
menjadi.
Ubermensch adalah istilah yang terdapat di dalam buku
Also Sprach Zarathustra. Di dalam Bahasa Indonesia, mengikuti istilah yang dipakai oleh Budi Hardiman,
Ubermensch diartikan dengan kata “
manusia atas”.
[12]
Manusia atas adalah manusia yang unggul yang lebih dari manusia
lainnnya. Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang
membuat manusia-manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan
yang menganjurkan sikap
durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan menjadikannya kawanan.
[13] Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah ada yang bisa mencapainya.
Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana untuk
mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk
mencapai manusia atas
[14].
Perubahan kepada manusia atas harus didahului oleh sikap manusia yang
kritis dan mengadakan transvaluasi, penjungkirbalikkan nilai-nilai yang
ada sampai akhirnya manusia itu mampu menentukan nilai-nilainya sendiri.
[15] Manusia atas selalu mengakui dirinya sendiri sebagai
der Wille-zur-Macht dan tidak menutupinya dengan kedok.
[16]
3.3.Kehendak Berkuasa
Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (
Will to power).
[17]
Kehendak berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam
pengetahuan. Bukan saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan
tetapi tujuan manusia atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain
dirinya sendiri. Kehendak berkuasa harus secara tegas melampaui manusia.
Pemikiran ini adalah cara bagi Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas
dan menggantinya dengan konsep
Ubermensch di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri.
[18]
Sekilas tampak bahwa manusia atas adalah manusia egois yang
mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak sependapat. Menurut
Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain atau
mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis.
[19] Nietzsche menyebut hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis akan kekuasaan.”
[20]
Pengertian yang ditekankan Nietzsche dari kehendak berkuasa adalah
lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu adalah suatu kedalaman
eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia harus berusaha
habis-habisan mencapai tujuannya.
[21] Dan itu tidak menggunakan insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh.
[22]
- Kritik terhadap Nietzsche
Filsafat Nietzsche tidak lepas dari keadaan zamannya. Kebencian
Nietszsche akan agama muncul setelah melihat kenyataan bahwa agama
waktu itu hanya sebagai pelarian kita dari masalah yang ada di dunia
nyata. Bisa dilihat di sini bahwa Nietzsche mengabaikan aspek yang lain
dan tidak seimbang di dalam memahami agama yang benar. Sepertinya,
kebencian telah terlalu banyak berpengaruh pada teorinya.
Tuhan yang “dibunuh” Nietzsche lebih mirip Tuhan psikologi. Dia sama
sekali tidak menyentuh eksistensi Tuhan. Dia hanya melihat Tuhan dari
konsep manusia tanpa mampu menerobos batas transendensi Tuhan. Hal ini
dapat dimengerti karena Nietzsche telah melanggar batas disiplin
ilmunya. Dia tidak membedakan antara Tuhan psikologis dengan Tuhan yang
filosofis.
Ubermensch yang diungkapkan oleh Nietzsche tampak sebagai
sesuatu yang utopis belaka karena dia sendiri mengakui belum ada manusia
yang bisa dianggap sebagai
Ubermensch. Dia juga terlalu radikal dengan menyebut
Ubermensch
bisa ada jika manusia terlebih dulu mengadakan transvaluasi atas
nilai-nilai yang ada untuk bisa mendapatkan nilainya sendiri. Dia
mengabaikan aspek manusia di dalam relasinya dengan sesama. Nilai yang
secara pribadi dihidupi justru bisa menjadi bencana bagi umat manusia
karena tak ada sebuah peraturan yang dijalankan sebagai suatu
kesepakatan. Lagipula menurut Nietzsche sifat dari kebenaran adalah
jamak.
- 5. Relevansi dan Penutup
Ateisme, telah kita ketahui bersama, telah mulai menjalari masyarakat
hampir di semua tempat. Ateisme di sini tentu saja bukan saja ateisme
secara definitif melainkan juga ateis praktis. Semakin banyak orang tak
lagi
“wedi-asih” kepada Tuhan. Hal ini bisa dilihat lewat
kenyataan sekarang ini bahwa masyarakat mengalami degradasi moral.
Pembunuhan, peperangan, aborsi, korupsi, dan kesenjangan sosial
kaya-miskin menjadi tema-tema utama pemberitaan media massa.
Agama akan menjadi sasaran empuk bagi kaum anti-agama. Di masa itu,
persaingan bukan lagi antar agama sendiri tetapi jauh lebih berat ketika
berhadapan dengan para kritikus agama tersebut. Di wilayah yang
pengaruh agamanya masih kuat seperti di Indonesia ini, kita masih bisa
nyaman dengan kehidupan beragama kita. Tetapi tidak demikian jika kita
berada di Eropa. Kita harus senantiasa memperbarui kualitas iman kita
terutama karena kita adalah calon imam. Selain itu kita juga harus tetap
terbuka terhadap kritik demi membangun iman yang lebih mendalam.
Hidup di negara dengan agama masih mendapat tempat utama seperti di
Indonesia ini, seakan-akan meninabobokan kita. Kita menjadi tidak sadar
bahaya yang mengintai kita. Ketaatan yang saleh terhadap agama bisa
menjadi kedok bagi kurangnya sikap kritis akan iman. Tentu saja akan
menjadi bumerang bagi kita. Salah satunya adalah adanya gerakan
terorisme yang didasarkan pada kepercayaan fanatis mudah dijadikan alat
untuk kepentingan tertentu.
Untuk kita, pemahaman yang salah akan iman kristiani menjadi sasaran
kritik Nietzsche. Bukan tidak mungkin, jika kita, orang Kristen terus
ditidurkan oleh setiap aturan, dogma maupun doktrin Gereja tanpa sikap
kritis, akan ada Nietzsche lain yang lebih mengerikan yang akan
mengritik kita. Kita harus menjadi orang beragama yang kritis yang tidak
mudah digoyahkan oleh tantangan dari luar.
Lebih dari sekedar orang Kristen, kita juga calon imam. Kita
dipersiapkan menjadi pemimpin Gereja di masa mendatang.
Kebijakan-kebijakan dibuat sedemikian rupa untuk membentuk kita sebagai
manusia yang utuh dan unggul secara rohani. Tetapi kita juga harus
bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita melakukan setiap program
yang ada di seminari sebagai seorang
ubermensch atau moralitas budak yang serba takut yang hidup di dalam diri kita.
Ubermensch yang dikatakan Nietzsche adalah manusia atas yang
senantiasa berjuang demi suatu nilai yang terintegrasi di dalam dirinya.
Pengertian ini bukan berarti kita harus menentang setiap aturan yang
ada, tetapi bagaimana kita bisa menghidupi nilai-nilai yang ada di
Seminari ini. Hal itu tidaklah mudah, jangan sampai kita justru terjebak
pada sikap munafik.
Ubermensch selalu berusaha habis-habisan
untuk mengembangkan dirinya bukan hanya demi memuaskan formator tetapi
demi tujuan yang lebih besar yang kita perjuangkan.
Sebagai seorang calon imam yang sedang di dalam
proses formatio, kita harus menimba ilmu dan mengolah diri secara
serius. Hal ini bukan saja untuk diri kita sendiri melainkan juga untuk
umat. Jika tidak demikian, kita hanya akan menjadi batu sandungan bagi
umat nantinya. Kritik Nietzsche bisa menjadi masukan bagi kita dan iman
kita. makalah ini akan ditutup dengan sebuah ungkapan dari Nietzsche.
“membuat orang gelisah, itulah tugas saya.”[23]
Daftar Pustaka
Sunardi, St.,
1996,
Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta.
Deleuze, Gilles,
2002,
Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta.
Budi Hardiman, F.,
2007,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta.
Neusch, Marcel,
“Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.) 2004,
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta.
Sautet, Marc,
2001,
Nietzsche untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta.
Akhmad Santosa,
2009,
Nietzsche Sudah Mati, Kanisius, Yogyakarta.
A. Mangunhardjana,
1997,
Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta,
[1] A. Mangunhardjana,
Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta, 1997, 162.
[2] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2007, 260.
[3] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004, 145. Mengutip dari Friedrich Nietzsche,
The Gay Science, translated by W. Kauffman (New York: Random House Vintage Books, 1974), no. 132, hal. 186.
[4] Gilles Deleuze,
Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, 214.
[5] Gilles Deleuze,
Filsafat Nietzsche, 215.
[6] Gilles Deleuze,
Filsafat Nietzsche, 216.
[7] Gilles Deleuze,
Filsafat Nietzsche, 216.
[8] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[9] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[10] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[11] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[12] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[13] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[14] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[15] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[16] F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.
[17] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004, 156.
[18] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004, 156.
[19] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[20] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[21] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.
[22] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam
Damanhuri Fattah (ed.)
10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 158.
[23] St. Sunardi,
Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta,1996, 21.